Aku termenung menunggu kedatangan
seseorang sendirian didalam salah satu café didaerah Bogor, Jawa Barat. Satu
menit, lima menit, sepuluh menit, batang hidungnya pun belum juga terlihat.
Rasa bosan mulai menghampiriku yang dari tadi hanya duduk menunggu sambil
membaca sebuah novel dan memain-mainkan sedotan didalam gelas minuman yang
beberapa detik lalu diantarkan oleh pelayan ke mejaku.
Sambil
terus membaca novel yang aku pegang, tiba-tiba aku merasakan ada suara langkah
kaki yang mulai mendekat ke mejaku. Dia, menarik bangku dan duduk dihadapanku
dengan raut muka dan gayanya yang khas dan mulai menyapaku dengan obrolan
basa-basi yang renyah.
Wajahnya,
masih seperti dulu. Hidung mancungnya yang bak seludang dan mata mungilnya yang
tersembunyi dibalik kacamatanya yang berframe
kecil menggodaku untuk senantiasa menatap wajahnya, sama seperti dulu. Ah, dia
masih seperti dulu, setiap kata yang terucap dari mulutnya selalu penuh humor
dan jenaka. Namun ada yang berbeda. Senyumnya. Ya, aku tidak melihat senyum itu
tampak dibalik wajah menggemaskannya.
Dia
memang tersenyum, bahkan tertawa saat kami mulai bertukar cerita, membahas
segala apapun hal yang menarik disekitar kami, beberapa kejadian yang pernah
kami alami. Dia berkata aku lebih lebih lucu dari pada sebelumnya, dan itu
membuatku terkejut. Beberapa jam kami bertukar cerita sampai kami lelah, namun
aku masih belum menemukan senyuman itu.
Hari
ini, entah kenapa aku bisa melihat semburat luka yang sedang dia alami,
terlihat transparan dibalik senyumannya. Aku tidak hanya menerka-nerka, tapi
dahulu aku sudah mengenalnya begitu dalam, begitu jauh, hingga hal itu
menuntutku untuk mengerti apa yang dia rasakan. Dan benar saja, setelah hampir
dua jam kami berbasa-basi dia pun segera memulai membahas hal yang menjadi
topik utama pertemuan kami.
Dalam
sekejap suasana obrolan yang tadinya jenaka, kini berubah formal. Ada rasa
canggung yang menelusup didalam diri kami. Ya, kami memang sudah tak bertemu
selama hampir dua tahun, tak saling menyapa, atau sekedar memberi kabar. Sejak
saat itu dia memang menghilang tanpa jejak dan dalam gelap, membuatku takut
untuk mencarinya, sampai akhirnya disore kemarin telefonku berdering dan
menunjukkan nomor yang tak aku kenal. Aku hampir terperanjat saat mengetahui
itu kamu yang menginginkan kita bertemu hanya untuk melihat keadaan
masing-masing, walau tak dipungkiri pasti juga untuk melepas rindu. Dan sekali
lagi, akau hanya bisa mengiyakan ajakanmu.
Dengan
raut wajah serius, kamu menceritakan semuanya. Saat kamu memperjuangkan cintamu
dengan mengorbankan apa yang telah menjadi kepunyaanmu, tapi ternyata kamu
justru dikhianati oleh sesuatu yang kamu anggap itu cinta. Secara otomatis
fikiranku mulai berkelana jauh diwaktu dua tahun yang lalu, memori otakku mulai
terbuka perlahan, kembali menyusun serpihan mozaik-mozaik kenangan pahit
bersamamu yang sudah lama tertimbun dipalung otakku. Semakin tersusun dan
terekam jelas sekarang, dan perlahan rasa benciku mulai hadir lagi.
Aku masih
sebisa mungkin menahan emosiku dan seprofesional
mungkin berusaha untuk tetap mendengarkan ceritamu. Ah gadis itu, sudah ku duga
pasti kamu sedikit-banyak akan bercerita tentang gadis itu. Ya, gadis yang dua
tahun lalu lebih kamu pilih daripada aku. Gadis itu, yang membuatmu mengorbankan
aku dan kenangan kita. Gadis itu, yang membuatmu mengorbankan apa yang waktu
itu sudah menjadi kepunyaanmu; aku. Saat aku memperjuangkanmu dan yang kamu
balas hanyalah mengabaikanku, saat aku memohon kepadamu dan yang kamu balas
hanyalah mengacuhkanku, dan saat aku meyakinkanmu untuk tetap tinggal dan itu
malah membuat tekatmu semakin bulat untuk meninggalkanku, hingga aku lelah. Dan
aku hanya tertegun memandangmu saat kamu meninggalkanku dalam tangis.
Roda
pun pasti akan berputar. Hari ini kamu menumpahkan apa yang menajadi rasa
bersalahmu serta penyesalanmu, membuat memori otakku semakin berputar dan
hanyut kembali dalam kejadian menyakitkan itu. Ah, emosiku membuncah, aku
marah! Ya aku marah, aku menyesali pertemuan ini!
Kamu hadir diwaktu yang salah, bukan hari ini harusnya kamu
kembali, sudah sangat terlambat kamu menyesali apa yang sudah terjadi. Aku
mulai mengerti penyebab tak ku temukan lagi senyuman itu dibalik raut wajah
menggemaskanmu, ternyata kini kamu terjebak dalam rasa sakitnya jatuh dalam
cinta. Ya, jatuh dalam cinta memang selalu sakit.
hehehe aneh ya?
BalasHapus