Minggu, 11 November 2012

Tidak! Bukan Hari Ini!

Aku termenung menunggu kedatangan seseorang sendirian didalam salah satu café didaerah Bogor, Jawa Barat. Satu menit, lima menit, sepuluh menit, batang hidungnya pun belum juga terlihat. Rasa bosan mulai menghampiriku yang dari tadi hanya duduk menunggu sambil membaca sebuah novel dan memain-mainkan sedotan didalam gelas minuman yang beberapa detik lalu diantarkan oleh pelayan ke mejaku.
                Sambil terus membaca novel yang aku pegang, tiba-tiba aku merasakan ada suara langkah kaki yang mulai mendekat ke mejaku. Dia, menarik bangku dan duduk dihadapanku dengan raut muka dan gayanya yang khas dan mulai menyapaku dengan obrolan basa-basi yang renyah.
                Wajahnya, masih seperti dulu. Hidung mancungnya yang bak seludang dan mata mungilnya yang tersembunyi dibalik kacamatanya yang berframe kecil menggodaku untuk senantiasa menatap wajahnya, sama seperti dulu. Ah, dia masih seperti dulu, setiap kata yang terucap dari mulutnya selalu penuh humor dan jenaka. Namun ada yang berbeda. Senyumnya. Ya, aku tidak melihat senyum itu tampak dibalik wajah menggemaskannya.
                Dia memang tersenyum, bahkan tertawa saat kami mulai bertukar cerita, membahas segala apapun hal yang menarik disekitar kami, beberapa kejadian yang pernah kami alami. Dia berkata aku lebih lebih lucu dari pada sebelumnya, dan itu membuatku terkejut. Beberapa jam kami bertukar cerita sampai kami lelah, namun aku masih belum menemukan senyuman itu.
                Hari ini, entah kenapa aku bisa melihat semburat luka yang sedang dia alami, terlihat transparan dibalik senyumannya. Aku tidak hanya menerka-nerka, tapi dahulu aku sudah mengenalnya begitu dalam, begitu jauh, hingga hal itu menuntutku untuk mengerti apa yang dia rasakan. Dan benar saja, setelah hampir dua jam kami berbasa-basi dia pun segera memulai membahas hal yang menjadi topik utama pertemuan kami.
                Dalam sekejap suasana obrolan yang tadinya jenaka, kini berubah formal. Ada rasa canggung yang menelusup didalam diri kami. Ya, kami memang sudah tak bertemu selama hampir dua tahun, tak saling menyapa, atau sekedar memberi kabar. Sejak saat itu dia memang menghilang tanpa jejak dan dalam gelap, membuatku takut untuk mencarinya, sampai akhirnya disore kemarin telefonku berdering dan menunjukkan nomor yang tak aku kenal. Aku hampir terperanjat saat mengetahui itu kamu yang menginginkan kita bertemu hanya untuk melihat keadaan masing-masing, walau tak dipungkiri pasti juga untuk melepas rindu. Dan sekali lagi, akau hanya bisa mengiyakan ajakanmu.
                Dengan raut wajah serius, kamu menceritakan semuanya. Saat kamu memperjuangkan cintamu dengan mengorbankan apa yang telah menjadi kepunyaanmu, tapi ternyata kamu justru dikhianati oleh sesuatu yang kamu anggap itu cinta. Secara otomatis fikiranku mulai berkelana jauh diwaktu dua tahun yang lalu, memori otakku mulai terbuka perlahan, kembali menyusun serpihan mozaik-mozaik kenangan pahit bersamamu yang sudah lama tertimbun dipalung otakku. Semakin tersusun dan terekam jelas sekarang, dan perlahan rasa benciku mulai hadir lagi.
                Aku masih sebisa mungkin menahan emosiku dan seprofesional mungkin berusaha untuk tetap mendengarkan ceritamu. Ah gadis itu, sudah ku duga pasti kamu sedikit-banyak akan bercerita tentang gadis itu. Ya, gadis yang dua tahun lalu lebih kamu pilih daripada aku. Gadis itu, yang membuatmu mengorbankan aku dan kenangan kita. Gadis itu, yang membuatmu mengorbankan apa yang waktu itu sudah menjadi kepunyaanmu; aku. Saat aku memperjuangkanmu dan yang kamu balas hanyalah mengabaikanku, saat aku memohon kepadamu dan yang kamu balas hanyalah mengacuhkanku, dan saat aku meyakinkanmu untuk tetap tinggal dan itu malah membuat tekatmu semakin bulat untuk meninggalkanku, hingga aku lelah. Dan aku hanya tertegun memandangmu saat kamu meninggalkanku dalam tangis.
                Roda pun pasti akan berputar. Hari ini kamu menumpahkan apa yang menajadi rasa bersalahmu serta penyesalanmu, membuat memori otakku semakin berputar dan hanyut kembali dalam kejadian menyakitkan itu. Ah, emosiku membuncah, aku marah! Ya aku marah, aku menyesali pertemuan ini!
Kamu hadir diwaktu yang salah, bukan hari ini harusnya kamu kembali, sudah sangat terlambat kamu menyesali apa yang sudah terjadi. Aku mulai mengerti penyebab tak ku temukan lagi senyuman itu dibalik raut wajah menggemaskanmu, ternyata kini kamu terjebak dalam rasa sakitnya jatuh dalam cinta. Ya, jatuh dalam cinta memang selalu sakit.

Rabu, 07 November 2012

Apa Jatuh itu Harus Selalu Sakit?



 Jatuh. Cinta. Yang aku tahu, jatuh itu pasti sakit, pasti luka, pasti berdarah. Tapi dulu kamu hadir membawakan segenggam cinta, seonggok hati yang membuatku percaya bahwa kau tak akan membuat ku terluka dalam jatuh yang satu ini.
Ketika cinta yang mulai terbiasa hadir, ketika cinta yang aku percaya akan membuatku bahagia, kini malah meminta izin untuk pergi. Aku harus apa? Saat hatimu berteriak, mengemis, bahkan dengan lirih meminta keluar dari hatiku. Saat  jiwamu tidak lagi sudi mendampingi jiwaku. Saat kata-kata dari bibir manismu keluar membentuk untaian huruf yang menjadi rentetan kata-kata mengundang perpisahan; putus. Sekali lagi aku bertanya, aku harus apa???
Siap jatuh cinta berarti siap untuk disakiti. Ketika kita sudah terlanjur jauh jatuh dalam buaian cinta lantas kita disakiti, berarti kita sudah tak pantas untuk mengeluh, dong? Udah tahu jatuh itu sakit, kenapa masih berani untuk memulai jatuh dalam cinta? Namun, apakah jatuh itu selalu harus merasakan sakit? Apakah jatuh cinta itu harus merasakan penderitaan? Merasakan perih? Pengkhianatan? Tapi ini jatuh karena cinta, apa harus juga sakit? Jika jatuh itu sakit, jatuh cinta itu sakit, lalu mengapa seseorang diberi hak buat merasakan jatuh cinta?
Aku memang terlihat bodoh, caraku untuk mencintamu bahkan tak pernah terlihat indah, selalu buruk dan tak pernah bisa kamu mengerti, tapi disaat otakmu tak bisa menerjemahkan itu, apakah hatimu tak bisa menerjemahkannya; melalui perasaan? Ada saatnya semua tak bisa terjamah dengan logika, makanya Tuhan menciptakan hati. Jika kamu mengeluh aku tak pernah bersungguh-sungguh mencintaimu, itu NOL BESAR! Jika aku tidak bersungguh-sungguh mencintaimu, aku tak akan mampu menjalankan hubungan ini denganmu, tak akan mau menerima kata-kata maafmu yang terus terulang, tak akan pernah sudi memperjuangkanmu!
Tapi sekali aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat hatimu tak bisa lagi aku genggam, saat hatimu terus bergejolak meminta pergi sejauh mungkin dari hatiku, saat semuanya terasa berbeda, bukan kamu yang dahulu aku kenal, yang bisa aku pahami. Jatuh cinta padamu itu bukanlah takdir, itu adalah sebuah pilihan. Pilihanku untuk jatuh cinta padamu tenyata membuatku tersadar, jika jatuh memang selalu sakit. Sekali lagi. Aku. Harus. Apa.

With love,
@DWSeptianii :)