Suatu malam aku
dikejutkan oleh suara getar di handphone-ku, pertanda ada sebuah pesan singkat
yang masuk. Hah? Dari kamu??!!!
“Kamu lagi apa? Bagaimana kabar kamu
sekarang?” sapanya lewat sebuah pesan singkat yang disampaikan melalui sebuah
benda kaku yang tak bernyawa. Aku hampir berjingkrak kegirangan hanya karena
sebuah pesan singkat yang (mungkin) biasa aja menurutnya, namun begitu sangat
luar biasa menurutku.
Sebuah
obrolan lewat pesan singkat itu pun terus berlanjut, dan betapa terkejutnya aku
saat dia bilang ingin menyempatkan waktunya untuk bertemu denganku. Astaga! Dan
tanpa ba-bi-bu lagi aku segera mengiyakan ajakannya. Aku bermaksud akan
menyelesaikan urusanku dengannya di bulan itu…..
***
Esoknya,
seperti terhipnotis langkah kakiku terus melaju mencari posisinya dalam
ramainya sebuah restaurant khas sunda kesukaannya, tadinya aku berfikir aku
pasti akan menunggu lama kedatangannya dan akan mentorerir kesalahannya dengan
lapang dada lagi (seperti dulu), namun lagi-lagi aku salah, ku lihat dia sudah
duduk disalah satu meja dipojok ruangan restaurant itu. Ah, kejutan lagi.
Aku
mencoba mengatur nafasku yang kelewat memburu, dan mencoba menyembunyikan degub
jantungku yang semakin berdebar. Entahlah aku memang kelewat gerogi kala itu,
apalagi saat tatapan kita bertemu dan dia telah mengetahui kedatanganku. Aku
mencoba mengatur tulang-tulang pergelangan kakiku yang semenjak tadi bergetar
hebat, mencoba untuk tetap berjalan seperti kebanyakan orang normal lainnya,
aku malu jika dia tahu betapa teramat gugupnya aku hanya karena bertemu dengan
seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupku, dulu.
Ku
lemparkan senyum saat aku sudah duduk dikursi dihadapannya, “maaf kalau udah
ngebuat kamu nunggu lama.” Aku mencoba membuka percakapan. Kamu tersenyum,
memperlihatkan senyum dari bibirmu yang terpadu dengan warna wajah kulit sawo
matangmu, manis.
Obrolan
kami direstaurant itu cukup panjang, dari mulai cerita tentang keluarganya; ayah
dan ibunya yang kini telah berangkat beribadah ke tanah suci untuk yang keempat
kalinya, kakaknya yang sekarang telah sukses menjadi seorang diplomat disalah
satu kedutaan asing ternama di Jakarta seperti yang dicita-citakannya, dan juga
adiknya yang saat terkahir kulihat masih seorang anak SD yang lugu dan
menggemaskan kini telah menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa, yang
katanya dia sedang mengikuti program akselerasi disekolahnya. Ah, rasanya sudah
cukup lama aku tak bertemu mereka.
Dan
dia? Dia juga tidak kalah luar biasanya dengan kakak dan adiknya, ternyata
sekarang ini dia sedang menyiapkan bahan-bahan untuk skiripsi S1-nya dan
beberapa urusan lainnya, dia lebih sibuk dari biasanya karena sebentar lagi ia akan
bertransformasi dari seorang calon dokter ke seorang dokter sungguhan. Aku amat
begitu senang mendengarnya, “selamat ya, semoga skripsimu lancar, dan salam
juga buat papa sama mama dirumah nanti, buat Ka Yudha dan Zahra juga.” Kataku.
Dia
masih terus menggebu-gebu mencari topik pembicaraan yang bisa diobrolkan saat
itu, haha dia memang selalu bersemangat jika bercerita, dan entah kenapa itulah
yang membuatku semakin sulit untuk menemukan penggantinya, aku belum bisa
“mengobrol” selepas aku “mengobrol” dengannya.
Saat
semua topik dari berbagai macam obrolan telah kami perbincangkan, tiba-tiba
saja dia terdiam dan hanya menatapku. “Ada yang aneh?” tanyaku. Dia hanya
geleng-geleng kepala saja.
“Sepertinya
dari tadi lebih mayoritas aku yang bercerita, sekarang giliran kamu dong.”
ucapnya setengah merajuk, seperti anak kecil.
Mendengar
ucapannya, aku merasa inilah saat yang tepat untuku menyelesaikan urusanku
dengannya, tragedi dibulan Desember itu. Dengan ucapan yang hampir
terpatah-patah, aku mencoba menjelaskan dengan sejujurnya apa yang menjadi
tujuan kedatanganku kesini, “Sesungguhnya ada yang menjadi tujuanku datang dan
mau menemuimu hari ini,” aku mencoba merapikan posisi dudukku.
“Aku hanya ingin
meminta maaf, karena sungguh masih berkobar jelas difikiranku saat terakhir
kali kita bertemu dan ku biarkan semua mawar pemberianmu layu, dan bahwa kini aku juga sadar jika
kebahagiaan dalam kesendirianku tak ada artinya jika aku masih merindukan
sosokmu, bahkan akhir-akhir ini aku selalu terjaga setiap malam, berharap suatu
hari nanti aku masih punya kesempatan bertemu denganmu untuk mengenang kembali
bulan Desember, dan meluruskan semuanya.” Lanjutku.
Namun,
dia cuma diam. Apa mungkin dia masih membenciku jika ia mengingat bulan
Desember dua tahun lalu itu? Seperti tak acuh aku terus menjelaskan semuanya, “aku
sekarang duduk dihadapanmu dan menjilat ludahku sendiri, meminta maaf karena
aku sama sekali tak menghubungimu dihari ulang tahunmu. Ah, aku selalu tak bisa
tidur karena akhir-akhir ini aku selalu membayangkan kepergianku di bulan
Desember itu!” Kamu masih diam.
“Ini mungkin memang hanya harapan, dan mungkin
hanya sekedar mimpi. Namun jika kita saling mencintai lagi, aku bersumpah aku
akan mencintaimu seperti seharusnya.” Aku menatapmu dengan yakin. Kamu masih
terdiam lagi.
Aku
hampir menyerah meyakinkannya, namun tiba-tiba dia tersenyum getir, “kamu
terlambat,” katanya lirih sambil mengacungkan sebuah cincin perak dijari
manisnya, “aku sudah bertunangan.”
AAHH!!!
Seketika jantungku remuk! Hanya suara desir angin yang terdengar dan kami
biarkan menelusup dengan lancang melewati jendela restaurant ini, aku hanya
bisa terpaku dan…….. Ah, aku benar-benar kehabisan kata-kata.
Mungkin
sudah sekitar 30-an menit kami terdiam dan aku sibuk mencerna apa makna cincin
di jari manisnya itu, sampai akhirnya kamu membuka suara, “Maaf, maaf, aku
benar-benar minta maaf sekali lagi, ini bukan sepenuhnya salah kamu.” Dia
bangkit dari kursinya, ”Kamu pasti akan menemukan seseorang yang lebih baik
dari aku.”
Aku
hanya terdiam, membisu bagai patung melewatkan kepergiannya. Sekarang aku merasa
seperti orang yang benar-benar tolol karena mungkin aku telah melewatkan
saat-saat musim panas dimana aku bisa menikmati saat-saat indahku bersamanya,
sampai akhirnya musim dingin datang dan menyadarkanku jika aku telah
mencintainya dimusim gugur. Aku sadar aku memang tak bisa kembali ke masalalu
dan mengubahnya, karena cincin itu telah menjadi alasan dia merantai pintunya
untukku, yah aku mengerti.
Selepas
kepergiannya, aku masih terus duduk direstaurant itu, mengenang kembali bulan
Desember dikala itu, saat dia berikan seluruh cintanya untukku dan yang kubalas
hanya meninggalkannya. Hah, akan selalu ku kenang bulan Desember…..
Catatan : cerita ini saya tulis
karena terinspirasi setelah mendengarkan sebuah lagu dari Taylor Swift yang
berjudul Back to December.
@dwseptianii