Senin, 18 Maret 2013

Selalu Ku Kenang Bulan..............



Suatu malam aku dikejutkan oleh suara getar di handphone-ku, pertanda ada sebuah pesan singkat yang masuk. Hah? Dari kamu??!!!
                 “Kamu lagi apa? Bagaimana kabar kamu sekarang?” sapanya lewat sebuah pesan singkat yang disampaikan melalui sebuah benda kaku yang tak bernyawa. Aku hampir berjingkrak kegirangan hanya karena sebuah pesan singkat yang (mungkin) biasa aja menurutnya, namun begitu sangat luar biasa menurutku.
                Sebuah obrolan lewat pesan singkat itu pun terus berlanjut, dan betapa terkejutnya aku saat dia bilang ingin menyempatkan waktunya untuk bertemu denganku. Astaga! Dan tanpa ba-bi-bu lagi aku segera mengiyakan ajakannya. Aku bermaksud akan menyelesaikan urusanku dengannya di bulan itu…..
***
                Esoknya, seperti terhipnotis langkah kakiku terus melaju mencari posisinya dalam ramainya sebuah restaurant khas sunda kesukaannya, tadinya aku berfikir aku pasti akan menunggu lama kedatangannya dan akan mentorerir kesalahannya dengan lapang dada lagi (seperti dulu), namun lagi-lagi aku salah, ku lihat dia sudah duduk disalah satu meja dipojok ruangan restaurant itu. Ah, kejutan lagi.
                Aku mencoba mengatur nafasku yang kelewat memburu, dan mencoba menyembunyikan degub jantungku yang semakin berdebar. Entahlah aku memang kelewat gerogi kala itu, apalagi saat tatapan kita bertemu dan dia telah mengetahui kedatanganku. Aku mencoba mengatur tulang-tulang pergelangan kakiku yang semenjak tadi bergetar hebat, mencoba untuk tetap berjalan seperti kebanyakan orang normal lainnya, aku malu jika dia tahu betapa teramat gugupnya aku hanya karena bertemu dengan seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupku, dulu.
                Ku lemparkan senyum saat aku sudah duduk dikursi dihadapannya, “maaf kalau udah ngebuat kamu nunggu lama.” Aku mencoba membuka percakapan. Kamu tersenyum, memperlihatkan senyum dari bibirmu yang terpadu dengan warna wajah kulit sawo matangmu, manis.
                Obrolan kami direstaurant itu cukup panjang, dari mulai cerita tentang keluarganya; ayah dan ibunya yang kini telah berangkat beribadah ke tanah suci untuk yang keempat kalinya, kakaknya yang sekarang telah sukses menjadi seorang diplomat disalah satu kedutaan asing ternama di Jakarta seperti yang dicita-citakannya, dan juga adiknya yang saat terkahir kulihat masih seorang anak SD yang lugu dan menggemaskan kini telah menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa, yang katanya dia sedang mengikuti program akselerasi disekolahnya. Ah, rasanya sudah cukup lama aku tak bertemu mereka.
                Dan dia? Dia juga tidak kalah luar biasanya dengan kakak dan adiknya, ternyata sekarang ini dia sedang menyiapkan bahan-bahan untuk skiripsi S1-nya dan beberapa urusan lainnya, dia lebih sibuk dari biasanya karena sebentar lagi ia akan bertransformasi dari seorang calon dokter ke seorang dokter sungguhan. Aku amat begitu senang mendengarnya, “selamat ya, semoga skripsimu lancar, dan salam juga buat papa sama mama dirumah nanti, buat Ka Yudha dan Zahra juga.” Kataku.
                Dia masih terus menggebu-gebu mencari topik pembicaraan yang bisa diobrolkan saat itu, haha dia memang selalu bersemangat jika bercerita, dan entah kenapa itulah yang membuatku semakin sulit untuk menemukan penggantinya, aku belum bisa “mengobrol” selepas aku “mengobrol” dengannya.
                Saat semua topik dari berbagai macam obrolan telah kami perbincangkan, tiba-tiba saja dia terdiam dan hanya menatapku. “Ada yang aneh?” tanyaku. Dia hanya geleng-geleng kepala saja.
                “Sepertinya dari tadi lebih mayoritas aku yang bercerita, sekarang giliran kamu dong.” ucapnya setengah merajuk, seperti anak kecil.
                Mendengar ucapannya, aku merasa inilah saat yang tepat untuku menyelesaikan urusanku dengannya, tragedi dibulan Desember itu. Dengan ucapan yang hampir terpatah-patah, aku mencoba menjelaskan dengan sejujurnya apa yang menjadi tujuan kedatanganku kesini, “Sesungguhnya ada yang menjadi tujuanku datang dan mau menemuimu hari ini,” aku mencoba merapikan posisi dudukku.
“Aku hanya ingin meminta maaf, karena sungguh masih berkobar jelas difikiranku saat terakhir kali kita bertemu dan ku biarkan semua mawar pemberianmu layu,  dan bahwa kini aku juga sadar jika kebahagiaan dalam kesendirianku tak ada artinya jika aku masih merindukan sosokmu, bahkan akhir-akhir ini aku selalu terjaga setiap malam, berharap suatu hari nanti aku masih punya kesempatan bertemu denganmu untuk mengenang kembali bulan Desember, dan meluruskan semuanya.” Lanjutku.
                Namun, dia cuma diam. Apa mungkin dia masih membenciku jika ia mengingat bulan Desember dua tahun lalu itu? Seperti tak acuh aku terus menjelaskan semuanya, “aku sekarang duduk dihadapanmu dan menjilat ludahku sendiri, meminta maaf karena aku sama sekali tak menghubungimu dihari ulang tahunmu. Ah, aku selalu tak bisa tidur karena akhir-akhir ini aku selalu membayangkan kepergianku di bulan Desember itu!” Kamu masih diam.
                 “Ini mungkin memang hanya harapan, dan mungkin hanya sekedar mimpi. Namun jika kita saling mencintai lagi, aku bersumpah aku akan mencintaimu seperti seharusnya.” Aku menatapmu dengan yakin. Kamu masih terdiam lagi.
                Aku hampir menyerah meyakinkannya, namun tiba-tiba dia tersenyum getir, “kamu terlambat,” katanya lirih sambil mengacungkan sebuah cincin perak dijari manisnya, “aku sudah bertunangan.”
                AAHH!!! Seketika jantungku remuk! Hanya suara desir angin yang terdengar dan kami biarkan menelusup dengan lancang melewati jendela restaurant ini, aku hanya bisa terpaku dan…….. Ah, aku benar-benar kehabisan kata-kata.
                Mungkin sudah sekitar 30-an menit kami terdiam dan aku sibuk mencerna apa makna cincin di jari manisnya itu, sampai akhirnya kamu membuka suara, “Maaf, maaf, aku benar-benar minta maaf sekali lagi, ini bukan sepenuhnya salah kamu.” Dia bangkit dari kursinya, ”Kamu pasti akan menemukan seseorang yang lebih baik dari aku.”
                Aku hanya terdiam, membisu bagai patung melewatkan kepergiannya. Sekarang aku merasa seperti orang yang benar-benar tolol karena mungkin aku telah melewatkan saat-saat musim panas dimana aku bisa menikmati saat-saat indahku bersamanya, sampai akhirnya musim dingin datang dan menyadarkanku jika aku telah mencintainya dimusim gugur. Aku sadar aku memang tak bisa kembali ke masalalu dan mengubahnya, karena cincin itu telah menjadi alasan dia merantai pintunya untukku, yah aku mengerti.
Selepas kepergiannya, aku masih terus duduk direstaurant itu, mengenang kembali bulan Desember dikala itu, saat dia berikan seluruh cintanya untukku dan yang kubalas hanya meninggalkannya. Hah, akan selalu ku kenang bulan Desember…..


Catatan : cerita ini saya tulis karena terinspirasi setelah mendengarkan sebuah lagu dari Taylor Swift yang berjudul Back to December.

@dwseptianii