Selasa, 26 Februari 2013

Aku dan Kota Hujan



Setitik. Dua titik. Ah, makin deras. Hujan. Tanpa pernah meminta izin terlebih dahulu langit menurunkan hujan yang kini mulai membuat tanah dibumi basah, berawal dan berakhir sendirian. Aku yang sedang dalam perjalanan dan tidak membawa jas hujan terpaksa berhenti untuk berteduh diemperan toko dengan rasa jengkel yang bergejolak dihati. Bagaimana tidak? Bajuku basah, lepek, dingin. Aku berbaur dengan banyak orang yang mengalami nasib sama sepertiku. Kehujanan. Kebasahan. Terlanjur kena hujan, jadi basah.
            Ah, aku amat membenci hujan. Hujan selalu menuntutku mencium bau kenangan-kenangan lama yang harusnya sudah tersapu oleh angin, kanyut terseret derasnya arus sungai, lalu terdampar disudut dunia atau mungkin dipalung samudera terdalam yang tak bisa aku temukan lagi sumber baunya. Bau hujan. Bau kenangan. Bau masa lalu.

***
“Bogor tempat yang penuh kenangan banget buat aku” katamu memulai pembicaraan.
            “Kapan kamu kembali ke Surabaya?” tanyaku.
            “Besok setelah pengumuman kelulusan, aku disuruh lanjutin kuliah di Surabaya.” Jawabmu enteng. Aku yang mendengarnya dengan spontan langsung memalingkan badanku dan menghadap wajahmu.
            “Bogor emang tempat yang banyak kenangan banget buat aku. Rasanya pengen kuliah disini aja, tapi sayangnya engga bisa, abis orang tua nyuruhnya kuliah disana aja sih, sambil nyusul mereka yang emang sekarang sedang dinas disana.” Katamu mencoba memperjelas ucapanmu tadi.
            Satu detik, lima detik, sepuluh detik, satu menit. Aku masih terpaku, membisu, dan tak mengerti harus menanggapi apa. Hatiku mati untuk bekerja mengenali rasa seketika itu. Otakku membeku, tak bisa merangkai kata-kata untuk menanggapi semua pernyataanmu. Dan bibirku, dia kelu jika harus mengucapkan kata-kata perpisahan untukmu. Aku membisu.
            “Hey!” sapamu membuyarkan lamunanku, jari-jarimu mengusap rambutku lembut sambil tersenyum manis ke arahku, memperlihatkan deretan gigi-gigi putihmu.
            “Oh, maaf. Aku mau nanya” Akhirnya aku berani membuka suara, setengah berbisik.
            “ Apa?” jawabmu masih dengan tersenyum.
            “Kamu pasti kesini lagi kan? Ke Bogor.” Aku mencoba tersenyum, namun getir.
            “Hahaha kamu lucu banget, ya pastilah sehabis kuliah nanti aku pasti balik ke Bogor, kan aku mau bikin istana disini buat kamu sama aku nanti.” Kamu tertawa terbahak-bahak.
            “Tapi misalnya ya, kalau pas kamu kesini lagi kamu udah enggak sama aku, gimana? Apa yang bakalan kamu lakuin?”
            Kamu terdiam, kelihatan seperti berfikir untuk menjawab pertanyaan konyolku. Dahimu berkerut dan bola matamu menerawang langit yang saat itu mulai mengeluarkan butir-butir air hujan ke bumi. Sementara aku, tanpa kamu sadari hanya melipat tangan secara sembunyi-sembunyi, berdoa agar perpisahan itu tak benar-benar terjadi, sambil memperhatikan wajahmu yang tampak begitu serius ketika berfikir, menggemaskan.
            “Hmm.. Aku bakalan ketempat ini, disudut terminal ini. Aku akan mengingat semuanya, hari-hari kita, kenangan-kenangan kita, bahkan waktu-waktu kebersamaan kita saat ini. Aku akan duduk disudut terminal ini sendirian, seperti saat ini. Mengenang semuanya, mengingat semuanya, dan mencoba membayangkan kalau kamu juga ada disampingku seperti saat ini, ya seperti saat ini.” Jawabmu panjang lebar setelah beberapa lama.
            Aku dan kamu saling bertatapan, memberikan senyuman termanis yang kita miliki. Dibawah rintik hujan yang semakin deras kita memautkan jemari tangan, tenggelam dalam harapan yang sama di fikiran masing-masing. Kita berpelukan.

***
“Duaaarrrr!!!” suara petir memecahkan lamunanku. Ah, apa yang aku lakukan? Kenapa sekelebat percakapan itu masih terlewatkan difikiranku? Harusnya aku sudah tidak memberikan celah sedikitpun agar kenangan ini tak lagi menggelanyut manja dibawah alam sadarku. Ah, aku benci saat-saat seperti ini, ketika hujan seperti mulai menghipnotisku untuk mulai mencium bau masa lalu.
            Kejadian itu sudah lama, percakapan itu sudah genap terlewat tujuh tahun lalu. Mana mungkin kamu mengingatnya? Kamu kan sibuk dikota yang jauh disana, kota asing yang mungkin tak pernah mengizinkanmu untuk beristirahat, sekedar untuk mengingatku, atau menghubungiku seperti yang waktu itu kamu janjikan.
            Hujan mulai reda. Aduh, kunci motor??!! Aku menggeropoh isi tasku, tidak ketemu. Aku mulai mengobrak-abrik isi tasku, mengeluarkan barang-barang yang ada didalamnya satu persatu.
            “Hey nona jelek. Pasti kedinginan ya?” sapa seseorang dari belakangku sambil mengenakan jaket dipunggungku.
            “Ah kamu ngagetin aja. Kunci motor aku hilang nih, bantu nyari dong!” aku tak memperdulikan kehadirannya, aku masih tetap panik, tetap sibuk dengan kegiatanku mencari kunci motorku yang hilang.
            “Itu yang kamu gantungin dilehermu apa?” katanya sambil menunjuk ke arah leherku.
            “Mana?” Aku menunduk. “Astaga! Sejak kapan ya dia pindah kemari? Ih, bikin kerjaan aja deh!” Protesku jengkel.
            “Kamu aja yang pelupa. Sini mana kuncinya? Aku aja yang antar kamu pulang.”
            Tanpa ba-bi-bu lagi kami pun langsung melanjutkan perjalanan. “Kamu baru pulang? Dari mana aja? Di-sms kok gak dibales, ditelepon juga enggak diangkat.” Dia mencoba membuka pembicaraan.
            “Oh iya maaf, mungkin handphone-nya mati kali.” Jawabku sekenanya.
            “Kamu enggak mau nanya kenapa aku bisa tiba-tiba ada disini? Enggak nanyain aku nyusulin kamu pake apa?”
            “Plak!!!” seperti ada tamparan keras yang menyadarku saat pertanyaan itu keluar dari bibirnya. Ah , selalu seperti itu. Dia selalu aku lupakan, seperti tak pernah aku pedulikan.
            “Tetep enggak mau jawab? Oh yasudahlah” katanya pasrah.
            Aku tetap tak menjawab, hanya bisa terdiam dan membisu dibalik punggungnya. Memperhatikan wajahnya yang kulihat dari kaca spion motor. Raut wajahnya tampak begitu kecewa. Ya, aku pasti melukainya lagi.
Sepanjang perjalanan pulang, kami terdiam dan tak ada lagi yang berani membuka suara, hanya deru kendaraan roda dua yang kami naiki yang masih setia mengeluarkan suaranya, seakan ia yang menjawab segala pertanyaan Dion tadi.

***
            Sesampainya di rumahku, ia kembali membuka suara. “Ada yang mau aku tanyain deh sama kamu.”
            “Apa?” jawabku sambil mengeringkan rambutku yang basah tadi habis terkena hujan.
            “Kamu masih belum lupa sama Yoga kan?”
            “Kamu nanya apa sih? Pertanyaannya aneh banget. Kamu enggak laper? Aku ambilin makan ya?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “ Aku nanya serius!” Nadanya mulai meninggi. “Aku tau kamu masih sayang dan gak bisa lupa sama pria brengsek itu, pria yang udah ninggalin kamu begitu lama, yang udah ngehipnotis kamu, sampai kamu jadi ketergantungan gini ama dia dan enggak bisa nerima kehadiran aku!”
            Aku tercengang. “Apa maksud kamu ngomong kaya gitu, Dion?”
            “Kamu itu terlalu bodoh, terlalu lemah, kamu harusnya melihat sekitar kamu, sekeliling kamu. Kenapa kamu selalu menunggu semua ketidakpastian, kenapa kamu selalu memilih warna abu-abu? Aku pacar kamu jadi aku rasa aku berhak melarang kamu buat enggak mikirin dia lagi, aku capek selalu enggak pernah kamu anggap ada!” nada omongan Dion semakin meninggi.
“Besok Yoga balik dari Surabaya, Dre. Aku cuma takut apa yang aku fikirkan selama ini bisa terjadi besok, aku cuma takut kehilangan kamu walaupun kamu emang enggak pernah mencintai aku sekalipun!” Lanjutnya.
            Aku mulai risih dengan pembicaraan ini, aku begitu kaget menerima tamparan kata-kata Dion yang begitu tajam dan memojokkankanku.
“Keluar kamu, keluar cepetan!” hanya kata-kata itu yang tiba-tiba keluar dari mulutku, ya aku mengusir Dion. Aku tak tahu marahku ini adalah wujud pembelaanku kepada sosok Yoga atau bukan, namun satu hal yang pasti, aku risih saat aku mendengar Dion yang menjelek-jelekan sosok Yoga dihadapanku. Ah, pasti lagi-lagi aku menyakiti hatinya.
            Dion tercengang, dia bimbang dan menatapku beberapa lama. “Aku perlu waktu buat sendiri, yon. Pulang sana!” kataku meyakinkannya.
Segera ia memacu motornya kencang, bahkan aku masih mendengar suara khas knalpot motor Dion saat motor itu sudah hampir jauh meninggalkan halaman rumahku, pertanda kalau Dion pasti begitu kencang memacu kendaraannya. Hah, aku merasa teramat lelah hari ini.
 “Besok Yoga balik dari Surabaya, Dre. Aku cuma takut apa yang aku fikirkan bakalan terjadi besok….” Sekelebat kata-kata Dion terus terngiang difikiranku. Yoga pulang? Ke Bogor? Kenapa Dion bisa tahu? Kok Yoga enggak bilang-bilang ya? Dion tahu dari mana? Ah, semua fikiran-fikiran abstrak itu memenuhi ruang kepalaku, ini pasti cuma harapan kosong! Masabodo dengan semua perkataan Dion tadi, aku mulai memejamkan mata, mencoba untuk menikmati waktu untukku dikamar ini. Namun diam-diam aku berharap kedatangannya, Yoga; orang yang tujuh tahun lalu setia mewarnai hari-hariku dengan candanya. Ya, aku muak dengan kemunafikanku sendiri.

***
            Sinar matahari merajuk manja memintaku terbangun dari alam mimpiku semalam, sesaat aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang silau terkena cahaya hangatnya. Begitu nikmatnya pagi yang selalu dipenuhi dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Aku masih bergelut malas diatas bedcoverku yang bergambar tokoh kartun kesukaanku ini; Smurfs. Aku mencoba mengecek handphone-ku. Dan sudah kuduga, ada tiga pesan yang belum terbaca dari Dion, “Good morning, my princes….” lengkap dengan berbagai emoticon dan berbagai embel-embel romantis lainnya, namun tetap saja tidak ada keinginan untukku menggubris semua pesan singkat darinya.
            Ingat Dion, aku langsung teringat dengan perbincanganku kemarin sore dengannya. Aku segera beranjak dari kamarku dan bergegas ke kamar mandi, aku ingin segera bersiap-siap merapihkan tubuhku dan berdandan secantik yang aku bisa, seperti yang biasa aku lakukan tujuh tahun yang lalu saat aku ingin menemui seseorang itu. Aku tahu tujuanku hari ini.

***
            Seperti biasa jalanan kota Bogor selalu ramai dipadati oleh berbagai macam kendaraan. Kendati tidak seperti Jakarta, di Bogor masih berjejer rapih pepohonan hijau disepanjang bahu jalan, sehingga Bogor masih tetap terlihat sejuk dan asri walau jalanannya banyak dipenuhi oleh berbagai macam polusi dari asap knalpot kendaraan yang serta merta merusak nikmatnya bau udara segar khas pepohonan hijau.
            Kini aku sudah duduk manis disalah satu bangku dalam bus Pusaka yang membawaku ke satu-satunya tujuanku hari ini. Langkah kakiku seperti tak ingin diajak kompromi, mereka terus menggerakkan badanku untuk segera melangkah ke salah satu terminal yang paling sering dipadati oleh aktifitas kendaraan yang berlalu-lalang di kota Bogor ini. Semakin aku menolaknya, malah seperti ada magnet yang semakin menyeret langkah demi langkah kecilku untuk segera mencapai terminal Baranang Siang.
            Sepanjang perjalanan aku terus mencaci-maki diriku sendiri, betapa bodohnya aku yang masih saja terus menantikan kepulangan seseorang yang telah melupakanku bertahun-tahun lamanya, dan bahkan kini aku sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya, lengkap dengan stelan pakaian kesukaanku yang dulu juga aku kenakan saat aku mengiringi kepergiannya. Namun sisi lain hatiku terus bergejolak meminta Tuhan agar aku bisa dipertemukan kembali dengannya kali ini saja. Dan semua doa-doaku diperjalanan tadi membuatku terhanyut khayal hingga tanpa terasa kini aku sudah menjejakkan kaki diterminal yang sering aku sebut terminal kita, terminal Baranang Siang.
            Setelah turun dari bus Pusaka, dengan lincah aku segera memasuki kerumunan orang-orang diterminal, rasanya membuatku mual dan ingin muntah melihat keramaian orang sepadat ini. Namun saat aku membayangkan wajah Yoga lengkap dengan senyumnya yang selalu memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya, seketika ada setitik semangat yang mendorongku untuk melupakan segala penderitaan ini.
            Segera aku memutar bola mataku ke segala penjuru terminal, mencari-cari sosok yang benar-benar aku rindukan, namun hasilnya nihil. Bolak-balik aku memperhatikan jam tanganku, setiap detik yang ku lewati diterminal ini terasa bagaikan satu abad, dan tanpa terasa sudah tujuh jam aku menunggu kedatangan Yoga yang tak kunjung tiba.
            Hari sudah mulai senja, dan masih belum tercium sedikitpun tanda-tanda kedatangan Yoga, batang hidungnya pun belum terlihat. Setiap bus yang ku lihat baru datang ke terminal, selalu aku dekati dengan langkah terburu-buru bahkan dengan berlari, namun tak pernah ada satupun penumpang didalam situ dengan nama Yoga yang aku kenal.
“Oh, Tuhaaaaaaan!” Aku hanya bisa menjerit dalam hati.
Aku mulai putus asa, pasrah dan menyesali kebodohanku ini, aku benar-benar menyerah sekarang. Seharusnya aku mendengarkan kata-kata Dion kemarin untuk melupakan Yoga, serta tidak lagi memilih ketidakpastian. Keputusasaanku akhirnya sedikit demi sedikit membawaku pergi dan mulai menjauh dari pusat terminal. Semakin dekat diriku dengan pintu keluar, saat tiba-tiba kulihat sesosok laki-laki berkacamata sedang duduk disalah satu kursi di ruang tunggu terminal. Tatapanku langsung terkunci erat, aku benar-benar serius memperhatikannya hingga mungkin akhirnya dia sadar dan balik menatap kearahku.
“Yogaaaaaaaaaaaaaaa!!!!” dari sekian banyak rasa letihku, hanya satu nama itu yang masih bisa aku teriakan. Aku segera berlari menghambur kearah sosok laki-laki itu, memeluk erat tubuh yang benar-benar sangat aku rindukan, bahkan aku bisa mencium wangi tubuh Yoga yang khas, saat tubuh itu kini hanyut dalam dekapan hangat yang aku berikan. Aku dan Yoga seperti acuh tak acuh  dengan tatapan aneh orang-orang diterminal, aku masih memeluk Yoga dan terus mengurai helai demi helai benang rindu yang sudah lama aku rajut selama tujuh tahun lebih, sampai akhirnya dia melepaskan pelukanku dan mencubit hidungku gemas.
“Ih pesek, pelukannya erat banget bikin aku sesak nafas, segitu kangennya ya sama aku.” Kata Yoga sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Jangan diacak-acak, aku dandannya susah tau, dari pagi cuma buat nunggu kedatangan kamu. Iya lah aku kangen banget, siapa suruh pergi tapi enggak pernah ada satupun kabar!” jawabku setengah merajuk. Yoga tertawa mendengar rajukanku, katanya aku masih manja dan seperti anak kecil saat terakhir kali ia meninggalku tujuh tahun lalu.
Karena rasa rindu kami yang masih belum terbalaskan, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perbincangan kami disalah satu tempat makan pinggir jalan dekat terminal. Yoga segera menggandeng tanganku, dan aku pun segera mengikuti langkah kaki Yoga kemana pun ia pergi.
Namun, tanpa Andrea dan Yoga tahu, ternyata ada sosok yang memperhatikan mereka disudut terminal sana, seketika ia melihat Andrea dan Yoga tertawa dan bergandengan, sosok itu terluka, ya semakin terluka kembali.

***
Seminggu setelah pertemuan di terminal kemarin, aku dan Yoga jadi semakin erat dan akrab, seakan-akan aku telah melupakan semua rasa marah dan sakitku kepada Yoga saat ia telah meninggalkanku selama tujuh tahun lamanya tanpa satu pun kabar. Semua rasa rinduku terhadap Yoga masih belum sempurna hilang, aku masih ingin selalu terus bersama Yoga untuk menghabiskan hari-hariku dengannya. Semuanya terasa indah, Yoga bagai bisa membawaku terbang kembali saat aku bersamanya, sampai akhirnya satu pertanyaan Yoga kembali menghantamku, pertanyaannya mengingatkanku akan sosok Dion. Ah Dion? Astaga aku pasti sudah melupakannya seminggu terakhir ini.
“Dre, kalau kita terus sama-sama kaya gini, enggak ada yang marah kan?” Tanya Yoga tiba-tiba saat kami sedang makan disalah satu food court di Botani Square.
“Hmmm..” aku gugup.
“Kok kamu jadi gugup gitu? Enggak mau dijawab?” Yoga kembali bertanya.
“Tuhan, aku harus menjawab apa?” tanyaku dalam hati. Aku tak mungkin menceritakan tentang Dion kepada Yoga, aku belum siap jika aku harus kehilangannya kembali. Dan jika aku menceritakan tentang Dion, Yoga pasti kecewa karena berarti aku telah melupakan janjiku dulu untuk selalu setia menanti dirinya dan kepulangannya.
“Andrea. Heh, kok kamu bengong gitu jadinya?” Yoga melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku.
“Oh, ya enggak dong, siapa yang marah? Aku kan cuma punya kamu.” Jawabku canggung.
Yoga menatap mataku erat-erat, “Yakin?” tanyanya setengah meledek.
“Ih kamu nanya apa sih? Buktinya aja aku masih setia kan tujuh tahun nungguin kamu.” Jawabku sambil menjulurkan lidahku mengejek Yoga. Seketika itu juga kami tergelak bersama, dan kembali mengobrol bersama seperti tak pernah habis bahan pembicaraan diantara kami. Namun lagi-lagi rasanya malam kembali menjemput senja dengan sebegitu cepatnya, karena takut terlalu larut akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
Sepanjang perjalanan kami terus bergurau dan bercanda ria, didalam mobil aku terus bernyanyi dengan suara cempreng yang sengaja aku buat-buat, Yoga hanya senyum-senyum sendiri melihatku, bahkan kadang dia juga tertawa karena tak tahan melihat tingkah konyolku. Namun, saat sedang asyik-asyiknya bergurau, dari kaca spion mobil aku seperti melihat seseorang yang aku kenal, tiba-tiba aku terdiam memperhatikan sosok itu.
“Itu kaya Dion deh. Motor yang dikendarainya juga mirip.” fikirku dalam hati. “Apa jangan-jangan…”
“Kok kamu melamun tiba-tiba gitu, kamu lihat apa?” Tanya Yoga membuyarkan lamunanku.
“Ah itu, eh enggak kok, aku enggak lihat apa-apa.” Jawabku gugup.
“Beneran enggak ada?” Yoga kembali bertanya sambil melihat kaca spion mobilnya.
Aku hanya bisa mengangguk. Setelah merasa yakin aku tak melihat apa-apa, Yoga pun kembali berkonsentrasi untuk menyetir, sementara aku kini memilih diam dan tidak berani untuk berbicara apa-apa. Ketika ku rasa Yoga sudah kembali serius menyetir, aku kembali memberanikan diri untuk melihat ke arah kaca spion mobil, namun ternyata sudah tidak ada lagi sosok yang seperti aku kenal yang aku lihat tadi, tapi aku yakin, tadi aku pasti benar-benar melihat Dion. Aku kembali tersadar bahwa aku telah benar-benar melupakan sosok Dion akhir-akhir ini. Satu fikiranku, ketika aku sampai dirumah nanti, aku harus menghubungi Dion, aku ingin bertemu dengannya besok.
“Udah sampe, Dre. Kamu langsung tidur ya nanti.” Kata Yoga saat kami sudah tiba didepan rumahku.
“Makasih ya buat hari ini, kamu juga hati-hati pulangnya.” Jawabku.
Dan sebelum aku membuka pintu mobil, tiba-tiba Yoga menarik lenganku dan mencium keningku lembut.
“Ih Yoga.” Kataku merajuk manja, dan segera aku buru-buru menyembunyikan wajahku yang pasti sudah merah seperti tomat.
Aku melambaikan tangan, dan Yoga sudah memacu mobilnya meninggalkan aku yang masih tersipu malu dengan kejadian didalam mobil tadi.
Yoga kembali membawaku terbang dengan perlakuannya terhadapku hari ini. Aku pun segera melesat ke dalam kamarku dengan perasaan berbunga-bunga, karena terlalu senang aku pun ketiduran, dan kembali lupa dengan niatku untuk menghubungi Dion.
Namun lagi-lagi, ternyata ada sosok Dion yang telah memperhatikan semua kejadian tadi dari kejauhan, dengan penuh perasaan sakit dan luka.

***
Siang ini cuaca dikota Bogor sangat panas, terik mataharinya seakan tak membiarkan orang-orang yang sedang beraktifitas untuk menikmati sedikit sejuknya udara kota Bogor yang seperti biasanya. Dengan keadaan yang masih mengantuk, aku memaksakan tubuhku untuk bergerak ke arah kampusku tercinta, yaitu Institut Pertanian Bogor.
Rasa-rasanya aku ingin berangkat seorang diri hari ini, aku ingin kembali merasakan nikmatnya perjalanan menuju kampus dengan kendaraan umum. Namun saat aku baru saja keluar dari pintu pagar, tiba-tiba saja ada kendaraan sepeda motor yang berhenti tepat dihadapanku.
“Dion? Ada apa?” tanyaku kaget, namun aku berusaha untuk tetap tenang.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Hari ini kamu ke kampus bareng aku aja.”
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku pun langsung saja menuruti kata-kata Dion. Namun Dion bukan membawaku ke kampus, ia justru membawaku ke salah satu tempat wisata yang lumayan terkenal di kota Bogor, Kebun Raya Bogor; begitulah orang-orang sering menyebutnya.
“Kita mau apa kesini?” tanyaku setelah kami sampai.
“Nanti juga kamu tahu.”
Hanya itu jawaban Dion. Aku mulai curiga, karena dari tadi pagi perlakuan Dion terhadap ku terlihat tak seperti biasanya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat tak bersemangat seperti biasanya, dan ada lingkaran hitam disekitar matanya, Dion seperti orang yang kurang tidur akhir-akhir ini atau mungkin ia kelelahan dan sekarang ia sakit?
Kami terus berjalan-jalan dan menikmati pemandangan di Kebun Raya Bogor ini, sampai akhirnya aku memilih berhenti didepan Istana Bogor, dan melihat rusa-rusa yang makan rumput bersama gerombolannya. Pemandangan inilah yang selalu menarik perhatianku setiap aku datang kesini.
“Kamu kok pucat? Kamu sakit?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Iya.” Jawab Dion singkat.
“Sakit apa? Kok kamu sakit enggak ngabarin aku?”
Dion menarik nafas panjang, lalu menjawab. “Kamunya susah buat dikasih kabar. Aku seperti kehilangan kamu akhir-akhir ini.”
“Dion?” lagi-lagi aku tercengang dengan perkataan Dion, yang singkat namun lagi-lagi begitu menamparku.
Dion menatapku, ia tersenyum getir. Dan aku, aku hanya menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan rasa bersalah.
“Dion, maafin aku. Aku tahu seminggu ini aku bener-bener lupa sama semuanya, sama kamu, dan aku…”
“Semua karena Yoga kan?” Dion memotong pembicaraanku.
“Dion, maafin aku.” Aku tertunduk bersalah, dan perlahan air mata mulai membasahi pipiku.
“Andrea. Maaf hari ini aku udah ngebuat kamu bolos dari kampus dan membawamu kemari, karena bagiku tempat ini adalah satu-satunya kenangan terindah yang pernah aku miliki sama kamu, Dre. Ditempat inilah saksi yang tau bahwa tiga tahun lalu kamu telah bersedia jadi pacar aku.” Dion berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan membuangnya, menggambarkan bahwa ia ingin menghempaskan beban yang begitu banyak berkecamuk didalam hatinya.
“Andrea. Tiga tahun sama kamu bagi aku itu udah banyak banget pelajaran yang aku ambil. Aku belajar dan aku mengerti sekarang kalau ternyata cinta kamu ke Yoga itu enggak bisa kamu alihkan ke aku. Walau Yoga udah pergi tanpa kabar sekalipun kamu tetep mau maafin dia dan nerima dia kembali seakan dia tak pernah menyakitimu dan meninggalkan kamu selama tujuh tahun. Aku merasa aku hanya penghalang dihubungan kalian..”
“Cukup Dion, cukup!” Aku mulai terisak, aku begitu tak tahan mendengar semuanya yang terlontar dari mulut Dion.
Dion menempelkan jari telunjuknya dibibirku lembut dan menghapus air mata yang mulai menggenang deras dipipiku.
“Aku sayang sama kamu, Andrea. Makanya aku mau ngelepasin kamu buat Yoga, aku yakin kok kamu bisa lebih bahagia sepenuhnya sama Yoga, bukan sama aku.” Dion kembali berhenti sejenak. “Andrea. Dengerin aku baik-baik, kamu harus jaga Yoga ya supaya dia enggak pergi ninggalin kamu selama itu lagi. Dan kamu jangan nangis, kamu harusnya bahagia karena sekarang ketidakpastianmu selama ini, sekarang sudah menjadi pasti.” Dion menatapku, ia mengakhiri ucapan terkahirnya dengan mengecup keningku lembut, dan memeluk tubuhku hangat.
Aku membalas pelukan hangat Dion. Aku merasa sangat bersalah, aku merasa begitu berdosa telah menyia-nyiakan tulusnya perasaan Dion terhadapku selama ini. Namun disisi lain, aku tak bisa memungkiri perasaanku terhadap Yoga, karena bagiku Yoga adalah cinta pertama dan terakhirku. Aku hanya bisa membisu sekarang dan mengungkapkan semua perasaan bersalahku lewat pelukan ini.
“Maafin aku, Dion.” Kataku lirih.
Dion melepas pelukanku, lalu menatap wajahku erat. Langit mulai mendung dan rintik-rintik hujan mulai turun, mengiringi kami yang masih saling bertatapan. Dion menyudahi kontak mata diantara kami. Ia mengenakan jaket Barcelona kesukaannya di badanku, lalu ia pergi meninggalkanku yang masih setengah terisak. Aku masih terus memperhatikan punggung Dion yang semakin lama semakin menjauh. Aku tak memperdulikan badanku yang mulai basah terkena rintik hujan yang kini mulai deras.
Saat Dion menghilang dan tenggelam dalam derasnya hujan, tiba-tiba ada seseorang yang berlari kearahku sambil meneriakan namaku dengan nada suara yang begitu panik. Aku menoleh ke arah suara tersebut, dan ternyata itu Yoga.
“Andrea. Kamu enggak kenapa-kenapa? Kamu sedang apa disini sendirian?” Tanya Yoga dengan begitu panik. “Kamu pasti kedinginan, ini pake jaket aku. Ayo kita lebih baik segera masuk kedalam mobil sekarang.”
Yoga menuntunku masuk kedalam mobilnya. Dia memberikanku handuk dan segelas teh hangat, ia terus menggosokkan jemarinya ditanganku agar aku lebih merasa hangat.
“Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, kamu sedang apa ditempat ini sendirian?” Yoga kembali bertanya.
Aku menatap Yoga lekat-lekat. Aku menarik nafas dan tanpa basa-basi lagi aku menceritakan semuanya kepada Yoga, semuanya tentang Dion dan kejadian tadi. Aku menceritakan semuanya dengan begitu terbata-bata dan diiringi isak tangis air mata yang tak henti-hentinya menbanjiri pelupuk mataku.
“Maafin aku, kalau aku udah enggak jujur sama kamu kemarin.” Kataku terbata-bata.
Yoga memelukku erat dan ia juga menangis.
“Kamu tahu darimana aku disini?” tanyaku kepada Yoga.
“Aku kesini karena tadi Dion sms aku, katanya aku disuruh kemari jemput kamu. Dia juga bilang ama aku, katanya aku harus jagain kamu dan enggak ninggalin kamu lama-lama lagi, Dre.”
Aku keluar dari mobil Yoga. Rasa bersalah, kecewa, marah, kini semuanya bercampur menjadi satu difikiranku, rasanya ingin meledak, aku menumpahkan semua kekesalanku terhadap diriku sendiri dengan berteriak sekencang-kencangnya ditengah derasnya hujan yang kembali mengguyur kota Bogor ini.
Yoga mengikutiku keluar dari mobil. “Ternyata ini akal-akalannya Dion aja, aku disuruh kemari. Aku harus banyak berterimakasih dan meminta maaf sama dia, karena ternyata tanpa aku sadari aku udah ngerebut kamu dari dia.”
“Aku yang banyak salah ama dia, bukan kamu Yoga.” Aku kembali tertunduk dengan rasa bersalah.
“Will you marry me?” seketika itu tiba-tiba Yoga berlutut sambil mengacungkan sebuah benda bulat yang berkilauan dihadapanku.
“Yoga, maksudnya apa semua ini?” tanyaku yang benar-benar bingung.
“Aku melamar kamu, Andrea. Kamu mau tidak menikah denganku setelah tujuh tahun kamu menunggu kedatanganku? Karena aku rasa, inilah saat yang tepat.” Jawab Yoga yakin.
“Tapi, Dion bagaimana?”
“Aku sudah meminta izin terlebih dahulu kepadanya tadi saat aku menerima sms darinya untuk menjemputmu. Dia sudah mau melepaskan kamu buat aku, dengan syarat agar aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi, dan aku pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang paling berharga dihidupku ini, Andrea. Kamu percaya kan sama aku?”
Aku masih terpaku dengan semua ini, aku merasa pasti pipiku lagi-lagi sudah berubah merah. Mendengar ucapan Yoga yang begitu meyakinkan, aku pun hanya bisa mengangguk dan memeluk Yoga, pertanda jika aku menerima lamarannya yang dibawah derasnya hujan ini.
Yoga melepas pelukanku dan mencubit pipiku gemas, “Makanya lain kali kamu jujur aja, jangan ada yang ditutup-tutupi lagi. Sekarang kamu udah sempurna jadi milik aku, Andrea.” Yoga mengecup keningku lembut. Dan dibawah derasnya hujan, kami kembali berpelukan.
            Lagi-lagi hujan membawa sebuah pelajaran sekaligus karunia yang teramat besar untukku. Rasanya, hujan seperti teman setia bagiku, terutama bagi cerita cintaku dan Yoga, hujan seperti senantiasa mengiringi perjalanan kami. Namun yang terpenting bagiku adalah hujan bisa menghapus segala ketidakpastianku berubah menjadi pasti, benar-benar nyata.


@DWSeptianii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar