Setitik. Dua
titik. Ah, makin deras. Hujan. Tanpa pernah meminta izin terlebih dahulu langit
menurunkan hujan yang kini mulai membuat tanah dibumi basah, berawal dan
berakhir sendirian. Aku yang sedang dalam perjalanan dan tidak membawa jas
hujan terpaksa berhenti untuk berteduh diemperan toko dengan rasa jengkel yang
bergejolak dihati. Bagaimana tidak? Bajuku basah, lepek, dingin. Aku berbaur
dengan banyak orang yang mengalami nasib sama sepertiku. Kehujanan. Kebasahan.
Terlanjur kena hujan, jadi basah.
Ah,
aku amat membenci hujan. Hujan selalu menuntutku mencium bau kenangan-kenangan
lama yang harusnya sudah tersapu oleh angin, kanyut terseret derasnya arus
sungai, lalu terdampar disudut dunia atau mungkin dipalung samudera terdalam
yang tak bisa aku temukan lagi sumber baunya. Bau hujan. Bau kenangan. Bau masa
lalu.
***
“Bogor tempat
yang penuh kenangan banget buat aku” katamu memulai pembicaraan.
“Kapan
kamu kembali ke Surabaya?” tanyaku.
“Besok
setelah pengumuman kelulusan, aku disuruh lanjutin kuliah di Surabaya.” Jawabmu
enteng. Aku yang mendengarnya dengan spontan langsung memalingkan badanku dan
menghadap wajahmu.
“Bogor
emang tempat yang banyak kenangan banget buat aku. Rasanya pengen kuliah disini
aja, tapi sayangnya engga bisa, abis orang tua nyuruhnya kuliah disana aja sih,
sambil nyusul mereka yang emang sekarang sedang dinas disana.” Katamu mencoba
memperjelas ucapanmu tadi.
Satu
detik, lima detik, sepuluh detik, satu menit. Aku masih terpaku, membisu, dan
tak mengerti harus menanggapi apa. Hatiku mati untuk bekerja mengenali rasa
seketika itu. Otakku membeku, tak bisa merangkai kata-kata untuk menanggapi
semua pernyataanmu. Dan bibirku, dia kelu jika harus mengucapkan kata-kata
perpisahan untukmu. Aku membisu.
“Hey!”
sapamu membuyarkan lamunanku, jari-jarimu mengusap rambutku lembut sambil
tersenyum manis ke arahku, memperlihatkan deretan gigi-gigi putihmu.
“Oh,
maaf. Aku mau nanya” Akhirnya aku berani membuka suara, setengah berbisik.
“
Apa?” jawabmu masih dengan tersenyum.
“Kamu
pasti kesini lagi kan? Ke Bogor.” Aku mencoba tersenyum, namun getir.
“Hahaha
kamu lucu banget, ya pastilah sehabis kuliah nanti aku pasti balik ke Bogor,
kan aku mau bikin istana disini buat kamu sama aku nanti.” Kamu tertawa terbahak-bahak.
“Tapi
misalnya ya, kalau pas kamu kesini lagi kamu udah enggak sama aku, gimana? Apa
yang bakalan kamu lakuin?”
Kamu
terdiam, kelihatan seperti berfikir untuk menjawab pertanyaan konyolku. Dahimu
berkerut dan bola matamu menerawang langit yang saat itu mulai mengeluarkan
butir-butir air hujan ke bumi. Sementara aku, tanpa kamu sadari hanya melipat
tangan secara sembunyi-sembunyi, berdoa agar perpisahan itu tak benar-benar
terjadi, sambil memperhatikan wajahmu yang tampak begitu serius ketika berfikir,
menggemaskan.
“Hmm..
Aku bakalan ketempat ini, disudut terminal ini. Aku akan mengingat semuanya,
hari-hari kita, kenangan-kenangan kita, bahkan waktu-waktu kebersamaan kita
saat ini. Aku akan duduk disudut terminal ini sendirian, seperti saat ini. Mengenang
semuanya, mengingat semuanya, dan mencoba membayangkan kalau kamu juga ada
disampingku seperti saat ini, ya seperti saat ini.” Jawabmu panjang lebar
setelah beberapa lama.
Aku
dan kamu saling bertatapan, memberikan senyuman termanis yang kita miliki.
Dibawah rintik hujan yang semakin deras kita memautkan jemari tangan, tenggelam
dalam harapan yang sama di fikiran masing-masing. Kita berpelukan.
***
“Duaaarrrr!!!”
suara petir memecahkan lamunanku. Ah, apa yang aku lakukan? Kenapa sekelebat
percakapan itu masih terlewatkan difikiranku? Harusnya aku sudah tidak
memberikan celah sedikitpun agar kenangan ini tak lagi menggelanyut manja
dibawah alam sadarku. Ah, aku benci saat-saat seperti ini, ketika hujan seperti
mulai menghipnotisku untuk mulai mencium bau masa lalu.
Kejadian
itu sudah lama, percakapan itu sudah genap terlewat tujuh tahun lalu. Mana
mungkin kamu mengingatnya? Kamu kan sibuk dikota yang jauh disana, kota asing
yang mungkin tak pernah mengizinkanmu untuk beristirahat, sekedar untuk mengingatku,
atau menghubungiku seperti yang waktu itu kamu janjikan.
Hujan
mulai reda. Aduh, kunci motor??!! Aku menggeropoh isi tasku, tidak ketemu. Aku
mulai mengobrak-abrik isi tasku, mengeluarkan barang-barang yang ada didalamnya
satu persatu.
“Hey
nona jelek. Pasti kedinginan ya?” sapa seseorang dari belakangku sambil
mengenakan jaket dipunggungku.
“Ah
kamu ngagetin aja. Kunci motor aku hilang nih, bantu nyari dong!” aku tak
memperdulikan kehadirannya, aku masih tetap panik, tetap sibuk dengan kegiatanku
mencari kunci motorku yang hilang.
“Itu
yang kamu gantungin dilehermu apa?” katanya sambil menunjuk ke arah leherku.
“Mana?”
Aku menunduk. “Astaga! Sejak kapan ya dia pindah kemari? Ih, bikin kerjaan aja
deh!” Protesku jengkel.
“Kamu
aja yang pelupa. Sini mana kuncinya? Aku aja yang antar kamu pulang.”
Tanpa
ba-bi-bu lagi kami pun langsung melanjutkan perjalanan. “Kamu baru pulang? Dari
mana aja? Di-sms kok gak dibales,
ditelepon juga enggak diangkat.” Dia mencoba membuka pembicaraan.
“Oh
iya maaf, mungkin handphone-nya mati
kali.” Jawabku sekenanya.
“Kamu
enggak mau nanya kenapa aku bisa tiba-tiba ada disini? Enggak nanyain aku
nyusulin kamu pake apa?”
“Plak!!!”
seperti ada tamparan keras yang menyadarku saat pertanyaan itu keluar dari
bibirnya. Ah , selalu seperti itu. Dia selalu aku lupakan, seperti tak pernah
aku pedulikan.
“Tetep
enggak mau jawab? Oh yasudahlah” katanya pasrah.
Aku
tetap tak menjawab, hanya bisa terdiam dan membisu dibalik punggungnya.
Memperhatikan wajahnya yang kulihat dari kaca spion motor. Raut wajahnya tampak
begitu kecewa. Ya, aku pasti melukainya lagi.
Sepanjang
perjalanan pulang, kami terdiam dan tak ada lagi yang berani membuka suara,
hanya deru kendaraan roda dua yang kami naiki yang masih setia mengeluarkan suaranya,
seakan ia yang menjawab segala pertanyaan Dion tadi.
***
Sesampainya
di rumahku, ia kembali membuka suara. “Ada yang mau aku tanyain deh sama kamu.”
“Apa?”
jawabku sambil mengeringkan rambutku yang basah tadi habis terkena hujan.
“Kamu
masih belum lupa sama Yoga kan?”
“Kamu
nanya apa sih? Pertanyaannya aneh banget. Kamu enggak laper? Aku ambilin makan
ya?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“
Aku nanya serius!” Nadanya mulai meninggi. “Aku tau kamu masih sayang dan gak
bisa lupa sama pria brengsek itu, pria yang udah ninggalin kamu begitu lama,
yang udah ngehipnotis kamu, sampai kamu jadi ketergantungan gini ama dia dan
enggak bisa nerima kehadiran aku!”
Aku
tercengang. “Apa maksud kamu ngomong kaya gitu, Dion?”
“Kamu
itu terlalu bodoh, terlalu lemah, kamu harusnya melihat sekitar kamu,
sekeliling kamu. Kenapa kamu selalu menunggu semua ketidakpastian, kenapa kamu
selalu memilih warna abu-abu? Aku pacar kamu jadi aku rasa aku berhak melarang
kamu buat enggak mikirin dia lagi, aku capek selalu enggak pernah kamu anggap
ada!” nada omongan Dion semakin meninggi.
“Besok Yoga
balik dari Surabaya, Dre. Aku cuma takut apa yang aku fikirkan selama ini bisa
terjadi besok, aku cuma takut kehilangan kamu walaupun kamu emang enggak pernah
mencintai aku sekalipun!” Lanjutnya.
Aku
mulai risih dengan pembicaraan ini, aku begitu kaget menerima tamparan
kata-kata Dion yang begitu tajam dan memojokkankanku.
“Keluar kamu,
keluar cepetan!” hanya kata-kata itu yang tiba-tiba keluar dari mulutku, ya aku
mengusir Dion. Aku tak tahu marahku ini adalah wujud pembelaanku kepada sosok
Yoga atau bukan, namun satu hal yang pasti, aku risih saat aku mendengar Dion
yang menjelek-jelekan sosok Yoga dihadapanku. Ah, pasti lagi-lagi aku menyakiti
hatinya.
Dion
tercengang, dia bimbang dan menatapku beberapa lama. “Aku perlu waktu buat
sendiri, yon. Pulang sana!” kataku meyakinkannya.
Segera ia memacu
motornya kencang, bahkan aku masih mendengar suara khas knalpot motor Dion saat
motor itu sudah hampir jauh meninggalkan halaman rumahku, pertanda kalau Dion
pasti begitu kencang memacu kendaraannya. Hah, aku merasa teramat lelah hari
ini.
“Besok Yoga balik dari Surabaya, Dre. Aku cuma
takut apa yang aku fikirkan bakalan terjadi besok….” Sekelebat kata-kata Dion
terus terngiang difikiranku. Yoga pulang? Ke Bogor? Kenapa Dion bisa tahu? Kok
Yoga enggak bilang-bilang ya? Dion tahu dari mana? Ah, semua fikiran-fikiran
abstrak itu memenuhi ruang kepalaku, ini pasti cuma harapan kosong! Masabodo
dengan semua perkataan Dion tadi, aku mulai memejamkan mata, mencoba untuk
menikmati waktu untukku dikamar ini. Namun diam-diam aku berharap
kedatangannya, Yoga; orang yang tujuh tahun lalu setia mewarnai hari-hariku
dengan candanya. Ya, aku muak dengan kemunafikanku sendiri.
***
Sinar
matahari merajuk manja memintaku terbangun dari alam mimpiku semalam, sesaat
aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang silau terkena cahaya hangatnya. Begitu
nikmatnya pagi yang selalu dipenuhi dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Pencipta. Aku masih bergelut malas diatas bedcoverku yang bergambar tokoh
kartun kesukaanku ini; Smurfs. Aku
mencoba mengecek handphone-ku. Dan
sudah kuduga, ada tiga pesan yang belum terbaca dari Dion, “Good morning, my
princes….” lengkap dengan berbagai emoticon
dan berbagai embel-embel romantis lainnya, namun tetap saja tidak ada keinginan
untukku menggubris semua pesan singkat darinya.
Ingat
Dion, aku langsung teringat dengan perbincanganku kemarin sore dengannya. Aku
segera beranjak dari kamarku dan bergegas ke kamar mandi, aku ingin segera
bersiap-siap merapihkan tubuhku dan berdandan secantik yang aku bisa, seperti
yang biasa aku lakukan tujuh tahun yang lalu saat aku ingin menemui seseorang
itu. Aku tahu tujuanku hari ini.
***
Seperti
biasa jalanan kota Bogor selalu ramai dipadati oleh berbagai macam kendaraan.
Kendati tidak seperti Jakarta, di Bogor masih berjejer rapih pepohonan hijau
disepanjang bahu jalan, sehingga Bogor masih tetap terlihat sejuk dan asri
walau jalanannya banyak dipenuhi oleh berbagai macam polusi dari asap knalpot
kendaraan yang serta merta merusak nikmatnya bau udara segar khas pepohonan
hijau.
Kini
aku sudah duduk manis disalah satu bangku dalam bus Pusaka yang membawaku ke
satu-satunya tujuanku hari ini. Langkah kakiku seperti tak ingin diajak
kompromi, mereka terus menggerakkan badanku untuk segera melangkah ke salah
satu terminal yang paling sering dipadati oleh aktifitas kendaraan yang
berlalu-lalang di kota Bogor ini. Semakin aku menolaknya, malah seperti ada
magnet yang semakin menyeret langkah demi langkah kecilku untuk segera mencapai
terminal Baranang Siang.
Sepanjang
perjalanan aku terus mencaci-maki diriku sendiri, betapa bodohnya aku yang
masih saja terus menantikan kepulangan seseorang yang telah melupakanku
bertahun-tahun lamanya, dan bahkan kini aku sedang dalam perjalanan untuk
menjemputnya, lengkap dengan stelan pakaian kesukaanku yang dulu juga aku
kenakan saat aku mengiringi kepergiannya. Namun sisi lain hatiku terus
bergejolak meminta Tuhan agar aku bisa dipertemukan kembali dengannya kali ini
saja. Dan semua doa-doaku diperjalanan tadi membuatku terhanyut khayal hingga
tanpa terasa kini aku sudah menjejakkan kaki diterminal yang sering aku sebut
terminal kita, terminal Baranang Siang.
Setelah
turun dari bus Pusaka, dengan lincah aku segera memasuki kerumunan orang-orang
diterminal, rasanya membuatku mual dan ingin muntah melihat keramaian orang
sepadat ini. Namun saat aku membayangkan wajah Yoga lengkap dengan senyumnya
yang selalu memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya, seketika ada setitik
semangat yang mendorongku untuk melupakan segala penderitaan ini.
Segera
aku memutar bola mataku ke segala penjuru terminal, mencari-cari sosok yang
benar-benar aku rindukan, namun hasilnya nihil. Bolak-balik aku memperhatikan
jam tanganku, setiap detik yang ku lewati diterminal ini terasa bagaikan satu
abad, dan tanpa terasa sudah tujuh jam aku menunggu kedatangan Yoga yang tak
kunjung tiba.
Hari
sudah mulai senja, dan masih belum tercium sedikitpun tanda-tanda kedatangan
Yoga, batang hidungnya pun belum terlihat. Setiap bus yang ku lihat baru datang
ke terminal, selalu aku dekati dengan langkah terburu-buru bahkan dengan
berlari, namun tak pernah ada satupun penumpang didalam situ dengan nama Yoga
yang aku kenal.
“Oh,
Tuhaaaaaaan!” Aku hanya bisa menjerit dalam hati.
Aku mulai putus
asa, pasrah dan menyesali kebodohanku ini, aku benar-benar menyerah sekarang.
Seharusnya aku mendengarkan kata-kata Dion kemarin untuk melupakan Yoga, serta
tidak lagi memilih ketidakpastian. Keputusasaanku akhirnya sedikit demi sedikit
membawaku pergi dan mulai menjauh dari pusat terminal. Semakin dekat diriku
dengan pintu keluar, saat tiba-tiba kulihat sesosok laki-laki berkacamata
sedang duduk disalah satu kursi di ruang tunggu terminal. Tatapanku langsung
terkunci erat, aku benar-benar serius memperhatikannya hingga mungkin akhirnya
dia sadar dan balik menatap kearahku.
“Yogaaaaaaaaaaaaaaa!!!!”
dari sekian banyak rasa letihku, hanya satu nama itu yang masih bisa aku
teriakan. Aku segera berlari menghambur kearah sosok laki-laki itu, memeluk
erat tubuh yang benar-benar sangat aku rindukan, bahkan aku bisa mencium wangi
tubuh Yoga yang khas, saat tubuh itu kini hanyut dalam dekapan hangat yang aku
berikan. Aku dan Yoga seperti acuh tak acuh
dengan tatapan aneh orang-orang diterminal, aku masih memeluk Yoga dan
terus mengurai helai demi helai benang rindu yang sudah lama aku rajut selama
tujuh tahun lebih, sampai akhirnya dia melepaskan pelukanku dan mencubit
hidungku gemas.
“Ih pesek,
pelukannya erat banget bikin aku sesak nafas, segitu kangennya ya sama aku.”
Kata Yoga sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Jangan
diacak-acak, aku dandannya susah tau, dari pagi cuma buat nunggu kedatangan
kamu. Iya lah aku kangen banget, siapa suruh pergi tapi enggak pernah ada
satupun kabar!” jawabku setengah merajuk. Yoga tertawa mendengar rajukanku,
katanya aku masih manja dan seperti anak kecil saat terakhir kali ia
meninggalku tujuh tahun lalu.
Karena rasa
rindu kami yang masih belum terbalaskan, kami pun memutuskan untuk melanjutkan
perbincangan kami disalah satu tempat makan pinggir jalan dekat terminal. Yoga
segera menggandeng tanganku, dan aku pun segera mengikuti langkah kaki Yoga
kemana pun ia pergi.
Namun, tanpa
Andrea dan Yoga tahu, ternyata ada sosok yang memperhatikan mereka disudut
terminal sana, seketika ia melihat Andrea dan Yoga tertawa dan bergandengan,
sosok itu terluka, ya semakin terluka kembali.
***
Seminggu setelah
pertemuan di terminal kemarin, aku dan Yoga jadi semakin erat dan akrab,
seakan-akan aku telah melupakan semua rasa marah dan sakitku kepada Yoga saat
ia telah meninggalkanku selama tujuh tahun lamanya tanpa satu pun kabar. Semua
rasa rinduku terhadap Yoga masih belum sempurna hilang, aku masih ingin selalu
terus bersama Yoga untuk menghabiskan hari-hariku dengannya. Semuanya terasa
indah, Yoga bagai bisa membawaku terbang kembali saat aku bersamanya, sampai
akhirnya satu pertanyaan Yoga kembali menghantamku, pertanyaannya
mengingatkanku akan sosok Dion. Ah Dion? Astaga aku pasti sudah melupakannya
seminggu terakhir ini.
“Dre, kalau kita
terus sama-sama kaya gini, enggak ada yang marah kan?” Tanya Yoga tiba-tiba
saat kami sedang makan disalah satu food court di Botani Square.
“Hmmm..” aku
gugup.
“Kok kamu jadi
gugup gitu? Enggak mau dijawab?” Yoga kembali bertanya.
“Tuhan, aku
harus menjawab apa?” tanyaku dalam hati. Aku tak mungkin menceritakan tentang
Dion kepada Yoga, aku belum siap jika aku harus kehilangannya kembali. Dan jika
aku menceritakan tentang Dion, Yoga pasti kecewa karena berarti aku telah melupakan
janjiku dulu untuk selalu setia menanti dirinya dan kepulangannya.
“Andrea. Heh,
kok kamu bengong gitu jadinya?” Yoga melambai-lambaikan tangannya didepan
wajahku.
“Oh, ya enggak
dong, siapa yang marah? Aku kan cuma punya kamu.” Jawabku canggung.
Yoga menatap
mataku erat-erat, “Yakin?” tanyanya setengah meledek.
“Ih kamu nanya
apa sih? Buktinya aja aku masih setia kan tujuh tahun nungguin kamu.” Jawabku
sambil menjulurkan lidahku mengejek Yoga. Seketika itu juga kami tergelak
bersama, dan kembali mengobrol bersama seperti tak pernah habis bahan
pembicaraan diantara kami. Namun lagi-lagi rasanya malam kembali menjemput
senja dengan sebegitu cepatnya, karena takut terlalu larut akhirnya kami
memutuskan untuk pulang.
Sepanjang
perjalanan kami terus bergurau dan bercanda ria, didalam mobil aku terus
bernyanyi dengan suara cempreng yang sengaja aku buat-buat, Yoga hanya
senyum-senyum sendiri melihatku, bahkan kadang dia juga tertawa karena tak
tahan melihat tingkah konyolku. Namun, saat sedang asyik-asyiknya bergurau,
dari kaca spion mobil aku seperti melihat seseorang yang aku kenal, tiba-tiba
aku terdiam memperhatikan sosok itu.
“Itu kaya Dion
deh. Motor yang dikendarainya juga mirip.” fikirku dalam hati. “Apa
jangan-jangan…”
“Kok kamu
melamun tiba-tiba gitu, kamu lihat apa?” Tanya Yoga membuyarkan lamunanku.
“Ah itu, eh
enggak kok, aku enggak lihat apa-apa.” Jawabku gugup.
“Beneran enggak
ada?” Yoga kembali bertanya sambil melihat kaca spion mobilnya.
Aku hanya bisa
mengangguk. Setelah merasa yakin aku tak melihat apa-apa, Yoga pun kembali
berkonsentrasi untuk menyetir, sementara aku kini memilih diam dan tidak berani
untuk berbicara apa-apa. Ketika ku rasa Yoga sudah kembali serius menyetir, aku
kembali memberanikan diri untuk melihat ke arah kaca spion mobil, namun
ternyata sudah tidak ada lagi sosok yang seperti aku kenal yang aku lihat tadi,
tapi aku yakin, tadi aku pasti benar-benar melihat Dion. Aku kembali tersadar
bahwa aku telah benar-benar melupakan sosok Dion akhir-akhir ini. Satu
fikiranku, ketika aku sampai dirumah nanti, aku harus menghubungi Dion, aku
ingin bertemu dengannya besok.
“Udah sampe,
Dre. Kamu langsung tidur ya nanti.” Kata Yoga saat kami sudah tiba didepan
rumahku.
“Makasih ya buat
hari ini, kamu juga hati-hati pulangnya.” Jawabku.
Dan sebelum aku
membuka pintu mobil, tiba-tiba Yoga menarik lenganku dan mencium keningku
lembut.
“Ih Yoga.”
Kataku merajuk manja, dan segera aku buru-buru menyembunyikan wajahku yang
pasti sudah merah seperti tomat.
Aku melambaikan
tangan, dan Yoga sudah memacu mobilnya meninggalkan aku yang masih tersipu malu
dengan kejadian didalam mobil tadi.
Yoga kembali
membawaku terbang dengan perlakuannya terhadapku hari ini. Aku pun segera
melesat ke dalam kamarku dengan perasaan berbunga-bunga, karena terlalu senang
aku pun ketiduran, dan kembali lupa dengan niatku untuk menghubungi Dion.
Namun lagi-lagi,
ternyata ada sosok Dion yang telah memperhatikan semua kejadian tadi dari
kejauhan, dengan penuh perasaan sakit dan luka.
***
Siang ini cuaca
dikota Bogor sangat panas, terik mataharinya seakan tak membiarkan orang-orang
yang sedang beraktifitas untuk menikmati sedikit sejuknya udara kota Bogor yang
seperti biasanya. Dengan keadaan yang masih mengantuk, aku memaksakan tubuhku
untuk bergerak ke arah kampusku tercinta, yaitu Institut Pertanian Bogor.
Rasa-rasanya aku
ingin berangkat seorang diri hari ini, aku ingin kembali merasakan nikmatnya
perjalanan menuju kampus dengan kendaraan umum. Namun saat aku baru saja keluar
dari pintu pagar, tiba-tiba saja ada kendaraan sepeda motor yang berhenti tepat
dihadapanku.
“Dion? Ada apa?”
tanyaku kaget, namun aku berusaha untuk tetap tenang.
“Ada yang mau
aku omongin sama kamu. Hari ini kamu ke kampus bareng aku aja.”
Tanpa ba-bi-bu
lagi, aku pun langsung saja menuruti kata-kata Dion. Namun Dion bukan membawaku
ke kampus, ia justru membawaku ke salah satu tempat wisata yang lumayan
terkenal di kota Bogor, Kebun Raya Bogor; begitulah orang-orang sering
menyebutnya.
“Kita mau apa
kesini?” tanyaku setelah kami sampai.
“Nanti juga kamu
tahu.”
Hanya itu
jawaban Dion. Aku mulai curiga, karena dari tadi pagi perlakuan Dion terhadap
ku terlihat tak seperti biasanya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat tak
bersemangat seperti biasanya, dan ada lingkaran hitam disekitar matanya, Dion
seperti orang yang kurang tidur akhir-akhir ini atau mungkin ia kelelahan dan
sekarang ia sakit?
Kami terus
berjalan-jalan dan menikmati pemandangan di Kebun Raya Bogor ini, sampai
akhirnya aku memilih berhenti didepan Istana Bogor, dan melihat rusa-rusa yang
makan rumput bersama gerombolannya. Pemandangan inilah yang selalu menarik
perhatianku setiap aku datang kesini.
“Kamu kok pucat?
Kamu sakit?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Iya.” Jawab
Dion singkat.
“Sakit apa? Kok
kamu sakit enggak ngabarin aku?”
Dion menarik
nafas panjang, lalu menjawab. “Kamunya susah buat dikasih kabar. Aku seperti
kehilangan kamu akhir-akhir ini.”
“Dion?”
lagi-lagi aku tercengang dengan perkataan Dion, yang singkat namun lagi-lagi
begitu menamparku.
Dion menatapku,
ia tersenyum getir. Dan aku, aku hanya menatapnya dengan tatapan yang penuh
dengan rasa bersalah.
“Dion, maafin
aku. Aku tahu seminggu ini aku bener-bener lupa sama semuanya, sama kamu, dan
aku…”
“Semua karena
Yoga kan?” Dion memotong pembicaraanku.
“Dion, maafin
aku.” Aku tertunduk bersalah, dan perlahan air mata mulai membasahi pipiku.
“Andrea. Maaf
hari ini aku udah ngebuat kamu bolos dari kampus dan membawamu kemari, karena
bagiku tempat ini adalah satu-satunya kenangan terindah yang pernah aku miliki
sama kamu, Dre. Ditempat inilah saksi yang tau bahwa tiga tahun lalu kamu telah
bersedia jadi pacar aku.” Dion berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan
membuangnya, menggambarkan bahwa ia ingin menghempaskan beban yang begitu
banyak berkecamuk didalam hatinya.
“Andrea. Tiga
tahun sama kamu bagi aku itu udah banyak banget pelajaran yang aku ambil. Aku
belajar dan aku mengerti sekarang kalau ternyata cinta kamu ke Yoga itu enggak
bisa kamu alihkan ke aku. Walau Yoga udah pergi tanpa kabar sekalipun kamu
tetep mau maafin dia dan nerima dia kembali seakan dia tak pernah menyakitimu
dan meninggalkan kamu selama tujuh tahun. Aku merasa aku hanya penghalang
dihubungan kalian..”
“Cukup Dion,
cukup!” Aku mulai terisak, aku begitu tak tahan mendengar semuanya yang
terlontar dari mulut Dion.
Dion menempelkan
jari telunjuknya dibibirku lembut dan menghapus air mata yang mulai menggenang
deras dipipiku.
“Aku sayang sama
kamu, Andrea. Makanya aku mau ngelepasin kamu buat Yoga, aku yakin kok kamu
bisa lebih bahagia sepenuhnya sama Yoga, bukan sama aku.” Dion kembali berhenti
sejenak. “Andrea. Dengerin aku baik-baik, kamu harus jaga Yoga ya supaya dia
enggak pergi ninggalin kamu selama itu lagi. Dan kamu jangan nangis, kamu
harusnya bahagia karena sekarang ketidakpastianmu selama ini, sekarang sudah
menjadi pasti.” Dion menatapku, ia mengakhiri ucapan terkahirnya dengan
mengecup keningku lembut, dan memeluk tubuhku hangat.
Aku membalas
pelukan hangat Dion. Aku merasa sangat bersalah, aku merasa begitu berdosa
telah menyia-nyiakan tulusnya perasaan Dion terhadapku selama ini. Namun disisi
lain, aku tak bisa memungkiri perasaanku terhadap Yoga, karena bagiku Yoga
adalah cinta pertama dan terakhirku. Aku hanya bisa membisu sekarang dan
mengungkapkan semua perasaan bersalahku lewat pelukan ini.
“Maafin aku,
Dion.” Kataku lirih.
Dion melepas
pelukanku, lalu menatap wajahku erat. Langit mulai mendung dan rintik-rintik
hujan mulai turun, mengiringi kami yang masih saling bertatapan. Dion menyudahi
kontak mata diantara kami. Ia mengenakan jaket Barcelona kesukaannya di
badanku, lalu ia pergi meninggalkanku yang masih setengah terisak. Aku masih
terus memperhatikan punggung Dion yang semakin lama semakin menjauh. Aku tak
memperdulikan badanku yang mulai basah terkena rintik hujan yang kini mulai deras.
Saat Dion
menghilang dan tenggelam dalam derasnya hujan, tiba-tiba ada seseorang yang
berlari kearahku sambil meneriakan namaku dengan nada suara yang begitu panik.
Aku menoleh ke arah suara tersebut, dan ternyata itu Yoga.
“Andrea. Kamu
enggak kenapa-kenapa? Kamu sedang apa disini sendirian?” Tanya Yoga dengan
begitu panik. “Kamu pasti kedinginan, ini pake jaket aku. Ayo kita lebih baik
segera masuk kedalam mobil sekarang.”
Yoga menuntunku
masuk kedalam mobilnya. Dia memberikanku handuk dan segelas teh hangat, ia
terus menggosokkan jemarinya ditanganku agar aku lebih merasa hangat.
“Kamu belum
jawab pertanyaan aku tadi, kamu sedang apa ditempat ini sendirian?” Yoga
kembali bertanya.
Aku menatap Yoga
lekat-lekat. Aku menarik nafas dan tanpa basa-basi lagi aku menceritakan
semuanya kepada Yoga, semuanya tentang Dion dan kejadian tadi. Aku menceritakan
semuanya dengan begitu terbata-bata dan diiringi isak tangis air mata yang tak
henti-hentinya menbanjiri pelupuk mataku.
“Maafin aku,
kalau aku udah enggak jujur sama kamu kemarin.” Kataku terbata-bata.
Yoga memelukku
erat dan ia juga menangis.
“Kamu tahu
darimana aku disini?” tanyaku kepada Yoga.
“Aku kesini
karena tadi Dion sms aku, katanya aku disuruh kemari jemput kamu. Dia juga
bilang ama aku, katanya aku harus jagain kamu dan enggak ninggalin kamu
lama-lama lagi, Dre.”
Aku keluar dari
mobil Yoga. Rasa bersalah, kecewa, marah, kini semuanya bercampur menjadi satu
difikiranku, rasanya ingin meledak, aku menumpahkan semua kekesalanku terhadap
diriku sendiri dengan berteriak sekencang-kencangnya ditengah derasnya hujan
yang kembali mengguyur kota Bogor ini.
Yoga mengikutiku
keluar dari mobil. “Ternyata ini akal-akalannya Dion aja, aku disuruh kemari.
Aku harus banyak berterimakasih dan meminta maaf sama dia, karena ternyata
tanpa aku sadari aku udah ngerebut kamu dari dia.”
“Aku yang banyak
salah ama dia, bukan kamu Yoga.” Aku kembali tertunduk dengan rasa bersalah.
“Will you marry
me?” seketika itu tiba-tiba Yoga berlutut sambil mengacungkan sebuah benda
bulat yang berkilauan dihadapanku.
“Yoga, maksudnya
apa semua ini?” tanyaku yang benar-benar bingung.
“Aku melamar
kamu, Andrea. Kamu mau tidak menikah denganku setelah tujuh tahun kamu menunggu
kedatanganku? Karena aku rasa, inilah saat yang tepat.” Jawab Yoga yakin.
“Tapi, Dion
bagaimana?”
“Aku sudah
meminta izin terlebih dahulu kepadanya tadi saat aku menerima sms darinya untuk
menjemputmu. Dia sudah mau melepaskan kamu buat aku, dengan syarat agar aku tak
akan pernah meninggalkanmu lagi, dan aku pasti tak akan menyia-nyiakan
kesempatan yang paling berharga dihidupku ini, Andrea. Kamu percaya kan sama
aku?”
Aku masih
terpaku dengan semua ini, aku merasa pasti pipiku lagi-lagi sudah berubah
merah. Mendengar ucapan Yoga yang begitu meyakinkan, aku pun hanya bisa mengangguk
dan memeluk Yoga, pertanda jika aku menerima lamarannya yang dibawah derasnya
hujan ini.
Yoga melepas
pelukanku dan mencubit pipiku gemas, “Makanya lain kali kamu jujur aja, jangan
ada yang ditutup-tutupi lagi. Sekarang kamu udah sempurna jadi milik aku,
Andrea.” Yoga mengecup keningku lembut. Dan dibawah derasnya hujan, kami
kembali berpelukan.
Lagi-lagi
hujan membawa sebuah pelajaran sekaligus karunia yang teramat besar untukku.
Rasanya, hujan seperti teman setia bagiku, terutama bagi cerita cintaku dan
Yoga, hujan seperti senantiasa mengiringi perjalanan kami. Namun yang
terpenting bagiku adalah hujan bisa menghapus segala ketidakpastianku berubah
menjadi pasti, benar-benar nyata.
@DWSeptianii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar