Hujan masih mengguyur lumayan deras
senja ini, ku rekatkan mantel hujanku lalu lekaslah aku berjalan tergesa-gesa
hampir berlari mengimbangi derasnya kecepatan hujan yang turun dari langit, aku
terus berjalan tanpa tahu arah menyusuri jalanan kota ini sendirian dengan
sebuah payung yang terus ku genggam erat.
Di samping toko pastry ku lihat sebuah
telefon umum, ada sekelebat keinginan untuk menghubungi seseorang yang mulai
menjalar di otakku. Ku coba mendekati sebuah telefon umun yang mulai terlihat
di seberang jalan sana. Aku berhenti sebentar, lalu ku teruskan langkahku
menyeberang jalan.
*tiiinnnnnnn*.. Suara klakson sebuah mobil mengejutkanku,
memang jalanan kota ini sedikit berkabut karna hujan yang tak kunjung reda
sejak pagi tadi. Ku dengar sopir itu terus memaki tanpa henti yang justru
membuatku tak habis fikir, “bukankah dia yang tak melihat lampu lalu lintas
sedang menyala berwarna merah?”. Tanpa memperdulikannya yang masih terus
mengoceh, aku pun segera melanjutkan langkah kakiku, namun kini lebih cepat
karna aku tak mau berurusan dengan suara klakson mobil yang lain lagi.
Kini aku sudah berdiri di hadapan
sebuah benda kaku nan dingin ini, ku lipat payungku dan ku buka matel hujan
yang aku pakai, segera aku buka pintu kacanya dan aku pun masuk kedalam. Tiba-tiba
ada sekelebat rasa ragu yang datang, “haruskah aku menelefonnya?”. Tidak, ia
tidak akan mau lagi mendapat kabar dariku. Ku pakai lagi matel hujanku,
bergegas mengambil payung lalu bergegas ingin pergi. Ah sial, aku kembali lagi
menghadap benda brengsek itu.
Aku berfikir sejenak, beberapa
menit aku terus menatap tombol-tombol yang dari tadi mungkin menatap heran ke
arahku. Entah kenapa jantungku benar-benar berdetak keras, jemariku dingin
mulai menekan momor telefonnya satu persatu. Sampai akhirnya… *tuuuttt* ku
dengar nada suara telefon tersambung. Namun, buru-buru ku akhiri.
Aku terus mengutuki diriku sendiri,
beberapa cacian ku tumpahkan, “ah, bodohnya diriku..”. aku mulai mengumpulkan
keberanianku kembali, perlahan ku coba menekan tombol redial hingga kembali
lagi terdengar nada panggilan tersambung. Tak lama kemudian, ku dengar suara
seraknya mengatakan “halo..”.
Seketika semua memori ingatanku
terus memutar ulang semua moment itu, semuanya tergambar jelas suasana saat
pertama kali kami berjumpa, saat pertama kali dia ucapkan “halo”, ya betapa
singkatnya waktu saat kau merasakan jatuh cinta, saat kencan pertama kami, saat
pertama kali dia menggenggam erat jemariku, saat pertama kali ada seseorang
yang mampu meyakinkanku bahwa cinta tak selamanya akan membuatmu jatuh, saat
itu musin gugur, udara saat dingin, angin mengeraikan rambutku dengan kencang,
dan kita terlarut dalam suasana romantis yang alam ciptakan untuk kita. Aku masih
mengingatnya dengan jelas.
Namun hal yang ku takutkan terjadi,
entahlah. Yah aku mengerti, mungkin aku memang terlalu banyak meminta, mungkin
kita kehilangan komunikasi, sungguh banyak hal ingin ku jelaskan padamu yang
aku ingin kau mengetahuinya, namun terlalu banyak penghalang yang selalu
mencegahnya. Sore ini, pukul 16.45 tadi aku berlari keluar, karena hanya ucapan
selamat tinggal yang terfikirkan olehku.
Berkali-kali dia terus berkata “halo..”,
membuatku terbangun dari lamunanku. Tidak, aku harus kembali, setidaknya ada
banyak hal yang harus ucapkan daripada hanya sebuah kata selamat tinggal. Perlahan
ku coba membuka mulut, “halo, a..ku..aku akan segera pulang…” suara serakku
menjawab dan ku tutup telfon. Aku segera berlari… pulang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar