Senin, 02 September 2013

Telefon Umum



Hujan masih mengguyur lumayan deras senja ini, ku rekatkan mantel hujanku lalu lekaslah aku berjalan tergesa-gesa hampir berlari mengimbangi derasnya kecepatan hujan yang turun dari langit, aku terus berjalan tanpa tahu arah menyusuri jalanan kota ini sendirian dengan sebuah payung yang terus ku genggam erat.
Di samping toko pastry ku lihat sebuah telefon umum, ada sekelebat keinginan untuk menghubungi seseorang yang mulai menjalar di otakku. Ku coba mendekati sebuah telefon umun yang mulai terlihat di seberang jalan sana. Aku berhenti sebentar, lalu ku teruskan langkahku menyeberang jalan.
*tiiinnnnnnn*.. Suara klakson sebuah mobil mengejutkanku, memang jalanan kota ini sedikit berkabut karna hujan yang tak kunjung reda sejak pagi tadi. Ku dengar sopir itu terus memaki tanpa henti yang justru membuatku tak habis fikir, “bukankah dia yang tak melihat lampu lalu lintas sedang menyala berwarna merah?”. Tanpa memperdulikannya yang masih terus mengoceh, aku pun segera melanjutkan langkah kakiku, namun kini lebih cepat karna aku tak mau berurusan dengan suara klakson mobil yang lain lagi.
Kini aku sudah berdiri di hadapan sebuah benda kaku nan dingin ini, ku lipat payungku dan ku buka matel hujan yang aku pakai, segera aku buka pintu kacanya dan aku pun masuk kedalam. Tiba-tiba ada sekelebat rasa ragu yang datang, “haruskah aku menelefonnya?”. Tidak, ia tidak akan mau lagi mendapat kabar dariku. Ku pakai lagi matel hujanku, bergegas mengambil payung lalu bergegas ingin pergi. Ah sial, aku kembali lagi menghadap benda brengsek itu.
Aku berfikir sejenak, beberapa menit aku terus menatap tombol-tombol yang dari tadi mungkin menatap heran ke arahku. Entah kenapa jantungku benar-benar berdetak keras, jemariku dingin mulai menekan momor telefonnya satu persatu. Sampai akhirnya… *tuuuttt* ku dengar nada suara telefon tersambung. Namun, buru-buru ku akhiri.
Aku terus mengutuki diriku sendiri, beberapa cacian ku tumpahkan, “ah, bodohnya diriku..”. aku mulai mengumpulkan keberanianku kembali, perlahan ku coba menekan tombol redial hingga kembali lagi terdengar nada panggilan tersambung. Tak lama kemudian, ku dengar suara seraknya mengatakan “halo..”.
Seketika semua memori ingatanku terus memutar ulang semua moment itu, semuanya tergambar jelas suasana saat pertama kali kami berjumpa, saat pertama kali dia ucapkan “halo”, ya betapa singkatnya waktu saat kau merasakan jatuh cinta, saat kencan pertama kami, saat pertama kali dia menggenggam erat jemariku, saat pertama kali ada seseorang yang mampu meyakinkanku bahwa cinta tak selamanya akan membuatmu jatuh, saat itu musin gugur, udara saat dingin, angin mengeraikan rambutku dengan kencang, dan kita terlarut dalam suasana romantis yang alam ciptakan untuk kita. Aku masih mengingatnya dengan jelas.
Namun hal yang ku takutkan terjadi, entahlah. Yah aku mengerti, mungkin aku memang terlalu banyak meminta, mungkin kita kehilangan komunikasi, sungguh banyak hal ingin ku jelaskan padamu yang aku ingin kau mengetahuinya, namun terlalu banyak penghalang yang selalu mencegahnya. Sore ini, pukul 16.45 tadi aku berlari keluar, karena hanya ucapan selamat tinggal yang terfikirkan olehku.
Berkali-kali dia terus berkata “halo..”, membuatku terbangun dari lamunanku. Tidak, aku harus kembali, setidaknya ada banyak hal yang harus ucapkan daripada hanya sebuah kata selamat tinggal. Perlahan ku coba membuka mulut, “halo, a..ku..aku akan segera pulang…” suara serakku menjawab dan ku tutup telfon. Aku segera berlari… pulang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar